Penyandang Difabel Protes Diskriminasi SNMPTN

Jember, Bhirawa
Para penyandang difabel atau mereka yang berkebutuhan khusus di Jember, Jatim, memprotes adanya diskriminasi terhadap siswa difabel dalam Seleksi Nasional Masuk Pergutuan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2014.
Ketua Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) Jember, Rahman Hadi, Kamis, menyayangkan persyaratan SNMPTN yang tidak memperbolehkan siswa berkebutuhan khusus untuk mengikuti seleksi dan menjadi peserta SNMPTN 2014.
“Peraturan pembatasan itu melanggar Undang-undang yang lebih tinggi yakni Undang-Undang Dasar 1945, bahkan persyaratan itu diskriminatif dan membatasi siswa difabel untuk mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi,” tuturnya.
Dalam peraturan Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dikti Kemendikbud) disebutkan bahwa seorang calon peserta SNMPTN 2014 disyaratkan tidak tuna netra, tidak tuna rungu, tidak tuna wicara, tidak tuna daksa, tidak buta warna keseluruhan, maupun sebagian.
“Bagaimana bisa Indonesia menjadi bangsa mandiri, jika masih ada diskriminasi seperti ini. Teman-teman difabel memiliki ketidaksempurnaan fisik bukan disengaja, melainkan karena secara alamiah terlahir seperti itu,” ucap pengajar tuna netra itu.
Sejauh ini, kata dia, sejumlah kaum difabel sudah menempuh pendidikan tinggi dan sebagian mereka menjadi dosen di beberapa universitas yang terkenal, namun tahun ini menjadi preseden buruk di dunia pendidikan yang membatasi hak siswa difabel untuk sekolah lebih tinggi.
“Pembatasan terhadap siswa berkebutuhan khusus juga melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena setiap orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak,” katanya.
Ia berharap pemerintah melalui Menteri Pendidikan M. Nuh dapat meninjau ulang dan merevisi peraturan tersebut, sehingga siswa difabel dapat memperoleh kesempatan untuk menempuh di Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Sementara Kepala Humas dan Protokol Universitas Jember (Unej) Agung Purwanto mengatakan pihaknya tidak menutup kesempatan bagi kaum difabel untuk bisa menempuh pendidikan tinggi di PTN, namun hanya beberapa fakultas seperti FISIP dan Sastra. “Ada sejumlah program studi yang mensyaratkan hal tersebut, misalnya untuk Fakultas Kedokteran dan Farmasi tidak boleh buta warna dan sebagainya,” tuturnya.
Menurut dia, Panitia Lokal 76 wilayah Eks Karesidenan Besuki belum memiliki dosen yang bisa melayani mereka yang berkebutuhan khusus dan menjelaskan dengan bahasa isyarat untuk tuna rungu, sehingga dikhawatirkan menyulitkan saat proses belajar mengajar ke depannya. [ant.efi]

Tags: