Padahal, sejatinya pemerintah melalui Kementerian Keuangan RI sebelumnya pernah mengumumkan akan diterapkannya kembali penyederhanaan lapisan tarif cukai. Tepatnya lagi, kebijakan penyederhanaan tarif cukai ditujukan untuk mengurangi lapisan tarif cukai dari 10 layer ke 5 layer di 2021, Kebijakan itu pernah diberlakukan, namun selanjutnya dihapus dengan diberlakukannya PMK No.156 Tahun 2018.
Realitas tersebut, setidaknya telah menggambarkan bahwa pemerintah terkesan kurang konsisten tentang kebijakan yang telah dibuat. Wajar adanya jika realitas tersebut bisa mengundang keresehan pelaku IHT dan petani tembakau. Sebab, logikanya Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tersebut berprospek dapat mengancam industri hasil tembakau (IHT). Otomatis kebijakan tersebut, juga bisa mengacam sekaligus berdampak pada tutupnya pabrik rokok, khususnya pabrikan kecil dan menengah dan penyerapan komoditas tembakau dan cengkih.
Jadi, besar kemungkinan jika kebijakan tersebut tidak terevaluasi dengan baik maka akan membawa dampak buruk terhadap industri rokok tanah air. Bahkan, besar kemungkinan penyederhanaan atau simplifikasi tarif cukai rokok tersebut bakal memicu peredaran rokok illegal dan pemutusan hubungan kerja. Oleh sebab itu, besar harapan pemerintah melalui Kementerian Keuangan RI bisa menimbang kelebihan dan kekurangan dari IHT yang selama ini sudah berperan cukup besar dalam perekonomian Indonesia.
Gumoyo Mumpuni Ningsih
Pengajar Universitas Muhammadiyah Malang