“Penyeimbang” Demokrasi Ber-adab Tanpa Hoax

(Rekonsiliasi, Tetap Damai Dalam Perbedaan) 

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior Penggiat Dakwah Sosial Politik

Demokrasi Pancasila tidak mengenal oposisi, yang sengit memusuhi pemerintah berkuasa dengan segala cara. Konstitusi pada alenia keempat pembukaan, meng-amanatkan pelaksanaan sistem demokrasi khas ke-Indonesia-an. Bukan demokrasi liar, bukan pula mencontoh demokrasi negeri asing. Melainkan wajib berasas Pancasila. Yakni, berlandaskan ajaran Ketuhanan, nilai-nilai kemanusiaan, persatuan nasional, musyawarah, dan keadilan sosial).
Secara tekstual konstitusi, meng-amanatkan, “….Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Frasa “kedaulatan rakyat” menunjukkan sistem politik nasional menganut asas demokrasi. Amanat pada pembukaan UUD alenia keempat ini, tidak dapat diubah oleh siapapun, termasuk oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Walau MPR memiliki kewenangan mengubah UUD (Undang-Undang Dasar). Kewenangan MPR mengubah UUD tercantum dalam UUD pasal 3 ayat (1). Lebih lanjut mekanisme perubahan UUD diatur dalam pasal 37.
UUD pasal 37 terdiri dari lima klausul (ayat). Seluruhnya hanya memberi kewenangan mengubah “pasal-pasal” (batang tubuh). Sedangkan dalam pembukaan UUD tidak terdapat pasal-pasal. Sehingga MPR hanya berlaku untuk mengubah batang tubuh (pasal-pasal). Sedang khusus pembukaan UUD tidak dapat diubah. Bahkan terdapat pula pasal “istimewa” yang tidak dapat diubah. UUD pasal 37 ayat (5) menyatakan, “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.”
Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terdapat dalam batang tubuh UUD yang paling atas. Yakni, pasal 1 ayat (1). Maka, isi konstitusi yang tidak dapat diubah, selain pembukaan UUD, adalah pasal 1 ayat (1). Bisa dipahami, karena pembukaan beserta pasal 1 ayat (1) UUD merupakan pilar sistem ke-tata negara-an Indonesia. Sekaligus meng-ilhami seluruh pasal-pasal dalam batang tubuh UUD. Juga menjadi pijakan dasar pembentukan undang-undang (UU) yang digagas oleh DPR dan Pemerintah.
Keniscayaan Demokrasi
UUD pasal 1 ayat (1), yang tidak dapat diubah, sebagai pengejawentahan pembukaan konstitusi (UUD) dengan frasa kata “berkedaulatan rakyat.” Idiom ini sebagai perintah berpemerintahan secara demokrasi. Sekaligus menampik bentuk pemerintahan kerajaan (monarkhi), juga menampik sistem negara khilafa (imperium yang mewakili persekutuan negara-negara muslim sedunia). Sistem demokrasi telah disepakati oleh perwakilan founder (pendiri) bangsa Indonesia, sejak awal kemerdekaan.
Pelaksanaan sistem demokrasi juga diatur oleh UUD pada awal, setelah bentuk dan kedaulatan negara. UUD pasal 2 ayat (1), menyatakan, “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.” Nyata-nyata terdapat frasa kata “pemilihan umum” (Pemilu) sebagai pelaksanaan demokrasi.
Pemilu menjadi keniscayaan demokrasi. Bahkan konstitusi memiliki Bab VIIB (khusus) tentang Pemilu, memiliki 6 klausul peraturan. UUD pasal 22 E ayat (1), menyatakan, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.” Selanjutnya, UUD pasal 22E ayat (2), menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”
Berdasar amanat UUD pasal 22E ayat (2), dilaksanakan pemilu serentak tahun 2019, memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD. Sekaligus dalam sehari, dalam satu TPS (Pemungutan Suara). Realitanya, pemilu serentak (pilpres dan pileg) mencatat sukses partisipasi politik luas, tetapi berdampak ke-terbelah-an elit politik. Sekaligus keterbelahan sosial secara diametral. Tokoh masyarakat juga turut terbelah secara emosional, karena perbedaan dukungan politik.
Paparan informasi melalui media sosial (medsos) turut memperkeruh suasana sosial dengan berbagai ujaran kebencian. Hoax (berita bohong), fitnah, dan perundungan, menjadi “sumbu” ledak kerukunan sosial. Suasana kebatinan sosial terbelah. Pemilu serentak 2019, telah menjadi prestasi masyarakat “memenangkan” konstitusi. Partisipasi pemilu sampai 81%, tertinggi selama lima kali pemilu terakhir, sejak pemilu tahun 1999.
Sukses Pemilu 2019, membuktikan keinginan masyarakat, mengukuhkan sistem demokrasi membangun pemerintahan yang legitimate (sah, dan kuat). Namun juga harus diakui, telah menyebabkan keterbelahan sosial. Bahkan setelah usai coblosan pemilu (dan usai pula dengan penetapan Mahkamah Konstitusi), terasa belum terjadi rekonsiliasi sosial. Masih terdapat pendukung emosional melakukan berbagai tindakan kontra-rekonsiliasi.
Menyambung yang Terbelah
Tidak mudah “sembuh.” Karena masa kampanye pemilu serentak 2019 berlangsung cukup lama. Bahkan sebelum masa kampanye telah tersulut pemisahan pandangan politik. Terutama kata-kata elit politik yang dinyatakan secara terbuka, nyata-nyata telah menyulut “peperangan” pada tataran grass-root. Kontestansi pilpres 2019 bagai memperhadapkan masyarakat secara vis a vis antar kelompok kubu paslon. Meng-anggap kelompok yang beda pilihan politik sebagai “musuh.”
“Jika di kalangan atas politik berbuat, janganlah yang di bawah memakan tragedi.” Begitu kata Sri Sultan Hamengku Buwono (HB X), memberi tamsil ke-riuh-an politik dampak pilpres 2019. Ke-guyub-an sosial sebelum pemilu seolah-olah sirna. Adat kesantunan juga sirna. Perbedaan pilihan, ironisnya, dijadikan politik identitas. Padahal pilpres secara langsung (dipilih rakyat) merupakan rutinitas politik lima tahunan, sesuai amanat konstitusi.
Hasil akhir pemilu, sesuai asas kontestansi niscaya selalu terdapat pemenang. Ada yang kalah. Dan sesungguhnya rakyat telah kembali ber-sosialisasi secara wajar. Kecuali elit politik yang perlu diredam, termasuk dengan menegakkan hukum. Tetapi masih diperlukan penyambungan komunikasi elit politik. Terutama tokoh yang paling sering berbicara, patut segera insaf, dan kembali berpikir kepentingan (keutuhan) negara. Tidak elok menjadikan kekurangan pemerintah sebagai komoditas olok-olok, dengan menyebar hoax dan fitnah
Pelaksanaan pemerintahan negara menjadi tanggungjawab bersama. Tokoh masyarakat, dan elit parpol, dapat menjadi “penyeimbang” menuju pelaksanaan kenegaraan yang lebih baik. Berbagai saluran demokrasi bisa dijalankan secara beradab. Antara lain dalam forum-forum musyawarah di DPR-RI dengan melibatkan pejabat tinggi pemerintah. Dengan kewenangan yang digaransi konstitusi (UUD), Parlemen (DPR-RI) dapat memanggil seluruh lembaga negara.
DPR juga dapat memanggil berbagai lembaga negara (independen), yang bersifat komisioner. Misalnya, Komisi Anak, Komisi Persaingan Usaha, Kompolnas, Komnas HAM, Komisi Yudisial, sampai BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), PPATK, dan KPK. Konstitusi (UUD) memberi kewenangan DPR “seimbang” dengan pemerintah. Bahkan memiliki kewenangan lebih besar pada urusan pembuatan UU (legislasi).
Berdasar UUD pasal 7B, DPR bisa menjatuhkan pemerintah (yang zalim). Sebaliknya, presiden tidak dapat membubarkan DPR. “Penyeimbang” (dalam demokrasi sering disebut oposisi), bukan fungsi yang remeh-temeh. Melainkan sangat strategis mengubah arah kebijakan. Sehingga diperlukan DPR yang kuat (kompeten) ber-integritas. Bukan sekadar menjadi “stempel” yang gampang menyetujui setiap langkah kebijakan pemerintah.
Tetapi fungsi “penyeimbang” bisa menjadi remeh-temeh, manakala suara parlemen hanya berisi olok-olok, dan menyebar hoax. Penyeimbang hanya bernilai remeh-temeh manakala diisi personel DPR tidak kompeten (tanpa keahlian), dan tidak bahu-membahu bersama rakyat.

——— 000 ———

Tags: