Peran Satpol PP “Periode Sibuk” Daerah

(Memperingati Hari Jadi Satpol Pamong Praja ke-70)
Oleh :
Setijo Mahargono
Staf Ketertiban dan Ketenteraman Satpol PP Pemprop. Jatim
Tahapan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) serentak tahun 2020, sudah dimulai. Antara lain, pembentukan PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan), dan Bawaslu Kecamatan. Di Jawa Timur akan digelar Pilkada serentak di 19 kabupaten dan kota. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) juga mulai sibuk, terutama untuk menciptakan suasana tertib masyarakat. Diantaranya, mengawasi pemasangan gambar baliho, dan spanduk yang ditebar di berbagai jalan. Kesibukan Satpol PP, sejak awal bulan Maret, sekaligus menandai Hari Jadi ke-70.
Usia yang cukup matang pada tatanan organ pemerintahan. Ke-ajeg-an tupoksi (tugas pokok dan fungsi) telah dikenal sejak tahun 1950. Sejak saat itu pula Pemerintah Propinsi Jawa Timur memiliki Satpol PP, tepatnya 19 Maret 1950, berselisih setengah bulan sejak di-deklarasikan di Solo. Pemerintah propinsi Jawa Timur, menggunakannya sebagai peringatan Hari Satpol PP. Pada setiap peringatan hari jadi-nya, dilakukan pemantapan fungsi kinerja yang terdekat dan paling strategis.
Istilah Satpol PP mulai terkenal sejak pemberlakuan UU Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Pada Pasal 86 ayat (1) disebutkan, Satpol PP merupakan perangkat wilayah yang melaksanakan tugas dekonsentrasi. Terutama penegakan Perda (Peraturan Daerah), ketertiban umum, dan ketenteraman masyarakat. Karena tupoksi (tugas pokok dan fungsi) itu, Satpol PP sering “berhadap-hadapan” langsung dengan masyarakat.
Satpol PP merupakan perangkat wilayah yang melaksanakan tugas dekonsentrasi. Berdasar UU Nomor 23 tahun 2014, tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Satpol PP masuk dalam rumpun penegakan Perda dan Perkada (Peraturan Kepala Daerah). Tugasnya tidak enteng, dan kewenangannya sangat strategis. Pada pasal 255 ayat (2) huruf b, dinyatakan kewenangan Satpol PP. Yakni “menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.”
Tupoksi yang tidak enteng, sekaligus sebagai garda terdepan dalam hal kasus-kasus hubungan antara pemerintah daerah dengan masyarakat. Sebagai penegak Perda (Peraturan Daerah), potret Satpol PP sebagai eksekutor ke-tidak tertib-an. Tetapi yang kondang, Satpol PP hanya identik dengan operasi yustisi, dan ketertiban fasilitas umum (oleh Pemerintah Kabupaten dan Kota). Terasa metodanya masih kental dengan nuansa bongkar angkut.
Dipandang “Sebelah Mata”
UU Pemerintahan Daerah pada pasal 255 ayat (2) huruf c, menyatakan kewenangan Satpol PP, “melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada.” Jadi, Satpol PP dapat berlaku bagai jaksa untuk menyelidiki aparatur yang melanggar peraturan. Fungsi ini (penyelidikan) niscaya memerlukan kompetensi memadai.
Tupoksi-nya selalu melekat pada Pemda (propinsi maupun Kabupaten dan Kota). Bahkan wajib ada sampai tingkat Kecamatan dan Kelurahan. Tugas khususnya mengurus ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Tugas yang tidak mudah. “Pasukan Hijau” (Satpol PP), disegani, ditakuti, sekaligus juga dibenci. Secara kelembagaan, urusan Ketenteraman dan Ketertiban Masyarakat, memiliki payung hukum cukup kokoh. Ironisnya, Satpol PP masih dipandang “sebelah mata.”
Realitanya, kelembagaan Satpol PP Jawa Timur, kurang didukung sarana dan prasarana kerja memadai. Sehingga mobilitasnya terbatas. Bahkan harus menentukan “prioritas utama” diantara kegiatan yang tergolong urgen priroritas. Anggarannya masih sangat kecil. Padahal di propinsi Banten (yang kecil) anggarannya dipagu 0,6% dari APBD. Anggaran Satpol PP Di DKI Jakarta, anggaran Satpol PP sudah lebih dari 1% APBD. Sedangkan Jawa Timur hanya sekitar 0,1% APBD.
Sebagai penegak Peraturan Daerah (Perda) tupoksinya menjamin ketertiban umum, bermuara pada kelancaran roda perekonomian daerah. Yang ditegakkan bukan sekadar Perda Ketertiban Kota, melainkan juga Perda Lingkungan Hidup, dan Perda tentang Rancangan Tata Ruang Wilayah. Serta Perda yang menyokong peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Misalnya Perda Pengelolaan Sungai, Perda tentang Pertambangan, serta Perda tentang Aset dan Kekayaan Daerah.
Maka diperlukan “pen-cerdas-an” personel Satpol PP sebagai petugas lapangan. Terutama nego dengan warga masyarakat yang melanggar Perda. Beberapa daerah (termasuk propinsi Jawa Timur dan Kota Surabaya), terasa lebih “menghargai” warga yang tertinggal secara ke-ekonomi-an. Warga miskin yang menggunakan fasilitas umum (melanggar), bukan dihardik. Melainkan dibina, difasilitasi menempati rumah susun sewa yang murah.
Sebagai perangkat wilayah yang melaksanakan tugas dekonsentrasi, Satpol PP juga memikul tanggungjawab menegakkan undang-undang (UU) yang dilaksanakan di daerah. Termasuk UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Tahun (2020) ini kinerja utama, terdekat, dan paling strategis, adalah Pilkada serentak seluruh Indonesia. Diikuti 9 pilgub, dan 261 pilakada kabupaten dan kota. Di Jawa Timur akan digelar di 19 kabupaten dan kota. Termasuk Pilwali Surabaya, dan Pilwali Kota Malang.
Ke-renggang-an sosial seiring pilkada, bisa mudah tersulut. Disebabkan banyak tokoh masyarakat terlibat aktif menjadi tim sukses pasangan calon (paslon). Tak terkecuali tokoh masyarakat ber-altar agama. Banyak fatwa, banyak saran, dan banyak analisis keagamaan “di-nisbat-kan” untuk paslon yang didukung tokoh agama dan tokoh adat. Banyak ayat-ayat suci ditafsirkan untuk mendukung “paslon unggulan.” Juga petuah adat ditujukan untuk mendukung “paslon idola” yang ditentukan oleh tokoh adat.
Ketenteraman Pilkada
Ongkos pencitraan bisa mencapai 75% anggaran yang dikeluarkan oleh kontestan pemilu (melalui tim sukses). Branding (pencitraan), lazimnya melalui sebaran alat peraga kampanye, dan safari politik ke berbagai kawasan. Berbagai media kampanye digunakan tim sukses memperkenalkan paslon. Terutama melalui percetakan (stiker, leaflet, dan kartu nama pengenal paslon), sampai penerbitan media sosial (medsos). Juga model survei (berbayar). Niscaya menggerus biaya sanghat besar.
Namun harus diakui, pencitraan sering menimbulkan perseteruan antar pendukung paslon. Pengalaman tiga kali Pilkada serentak terdahulu, “perang branding” tak terhindarkan. Terutama melalui medsos. Ribuan akun medsos ditebar-siarkan berpotensi paling rawan pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilu. Realitanya, berbagai peraturan perundang-undangan, terasa “kebobolan” pada saat penyelenggaraan pilkada DKI Jakarta (tahun 2017).
Branding melalui alat peraga kampanye dan iklan media masa, kini difasilitasi secara berimbang (adil) oleh KPU (dan KPU propinsi, serta KPU Daerah seluruh Indonesia). Debat terbuka paslon juga difasilitasi. Namun tim sukses memanfaatkan medsos sebagai ujung tombak pencitraan. Medsos menjadi andalan kampanye narsis. Juga digunakan sebagai ajang “kampanye hitam,” menghantam lawan politik. Bagai “perang” terbuka tanpa batas.
Padahal terdapat UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada, yang melarang kampanye hitam. UU Pilkada pada pasal 69 (tentang larangan kampanye), huruf c, menyatakan larangan: “melakukan Kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba Partai Politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat.” Tetapi elit parpol seolah-olah abai terhadap larangan kampanye hitam, terutama melalui medsos. Berkacapada pilkada Jakarta (tahun 2017), nyata-nyata menimbulkan perpecahan sosial sangat mendalam, hingga kini.
Maka UU Pilkada wajib ditegakkan. Urusan pilkada, seharusnya “selesai” di tingkat daerah. Tanpa melibatkan pejabat vertikal maupun “teman” dari daerah lain. Serta tidak melibatkan aparat negara (TNI, Polri, dan Aparatur Sipil Negara). Satpol PP, telah “mengawal” pentahapan Pilkada serentak sejak awal. Misalnya, menertibkan gambar-gambar spanduk dan banner bakal pasangan calon, yang ditebar di berbagai lokasi di kabupaten dan kota.
Kinerja Satpol PP menjadi sangat urgen dan strategis. Problem kampanye pilkada, niscaya menuntut pelaksanaan tupoksi lebih baik, seimbang, dan tidak memihak. Terutama pada calon incumbent. Wajib sesuai standar pelayanan publik. Diharapkan, Satpol PP, bukan hanya “garang” pada penegakan peraturan. Melainkan juga bisa membantu (pembinaan) masyarakat, mewujudkan Pilkada lebih berkualitas, tanpa kegaduhan sosial.
——— *** ———

Tags: