Perempuan yang Meratap di Bawah Terali

Oleh :

Reni Asih Widiyastuti

Aku membetulkan letak tas ransel yang berada di punggung saat melihat perempuan itu. Cantik. Bibirnya merah, tapi bukan merah lipstik atau semacamnya. Ini sungguh alami. Rambutnya hitam legam. Berkilau indah ketika tertimpa cahaya lampu. Aku memandangnya dari luar, sambil mencari tempat duduk yang strategis. Entah apa yang membuatku ingin berlama-lama di sini. Seolah-olah perempuan itu telah mengeluarkan energi magis yang begitu kuat.

Tak kupedulikan lagi hawa dingin yang tiba-tiba menyergap. Pemandangan di depan mata lebih dominan menyita perhatianku. Sebab sudah lama juga aku tak menginjakkan kaki di kota ini. Apalagi perpustakaan yang dulu setiap seminggu sekali kusambangi ini. Dulu, biasanya aku memilih tempat duduk yang diduduki oleh perempuan itu. Tapi kini tempat itu direbut olehnya.

Sejurus kemudian, pikiranku berubah. Aku tak lagi memandang perempuan itu dari luar. Perlahan tapi pasti, kakiku melangkah-melewati pintu masuk perpustakaan. Seorang pustakawan yang memang sudah sejak dulu kukenal, menyapaku dengan ramah. Kami berbasa-basi sebentar, menanyakan kabar, seperti kebanyakan orang-orang yang sudah lama tidak bertemu. Percakapan kami pun segera beranak-pinak. Tapi tak begitu lama, kemudian aku memutuskan percakapan dan mengambil satu buah buku secara sembarangan.

Perempuan itu agaknya tak terusik dengan kedatanganku. Aku memilih duduk sejajar dengannya. Ia masih bergeming, asyik menikmati buku yang dibacanya. Haruskah kukatakan padanya bahwa tempat yang sekarang ia duduki adalah tempat favoritku? Tapi ini tempat umum, tak seharusnya aku melarang siapa pun duduk di situ, termasuk perempuan itu.

Manik mataku mulai menjelajah buku yang secara sembarangan tadi kuambil. Lebih tepatnya berpura-pura agar perempuan itu tak curiga saat aku mencuri-curi pandang ke arahnya. Tak berapa lama, aku mendengar dia terisak. Seketika kutajamkan telinga supaya lebih jelas. Lama kelamaan, isakan itu berubah menjadi ratapan penuh kepiluan. Jujur saja, aku tak berani menegur. Sebab rasanya terkesan terlalu ikut campur urusan orang lain. Akhirnya, kubiarkan saja tanpa melakukan apa-apa.

Perempuan itu menyeka air mata yang mengalir deras di pipinya. Dia bersandar pada tembok-di bawah terali. Lalu, tangisan itu semakin menjadi-jadi. Ratapannya kian keras. Tak pelak, aku semakin tak nyaman dengan suasana seperti itu. Atau sebaiknya kuberanikan diri untuk sekadar menyapanya? Setidaknya, mungkin bisa mengurangi beban berat dihatinya. Batinku berperang sendiri.

Namun sebelum itu terjadi, perempuan itu menutup buku yang dibacanya, lalu beranjak dari kursi. Dia berlari meninggalkan perpustakaan masih dalam kondisi menangis. Aku menatap kepergiannya. Sementara-di dalam perpustakaan, entah mengapa sepertinya orangorang seolah tak menyaksikan peristiwa tadi. Ah, mungkin mereka terlalu sibuk dengan bacaan masing-masing. Atau mungkin hanya aku saja yang tak punya pekerjaan, malah justru mengamati perempuan itu.

Esok harinya-pada jam yang sama, kembali aku melihat perempuan itu. Seperti kemarin, dia terlihat cantik. Bibirnya merah alami. Dia mengenakan atasan berwarna merah jambu dan dipadu dengan rok sepanjang lutut berwarna biru tua. Lagi-lagi, dia tiba-tiba menangis, meratap dalam senyap ruang perpustakaan. Aku terus menatapnya sembari menanti barangkali ada satu atau dua orang yang juga menyadari akan hal itu. Namun tetap sama, tak ada yang beranjak sedikit pun.

Ada apa dengan semua orang? Mengapa mereka seolah tak tahu bahwa ada seorang perempuan yang sedang menangis dengan keras. Bahkan jika keluar dari perpustakaan ini pun, aku kira tangisannya masih mampu terdengar. Baiklah, salah satu orang harus kutanyai. Tapi aku sangat terkejut atas jawabannya.

“Dia sudah terbiasa seperti itu. Menangis dan meratap dibawah terali. Biarkan saja.”

“Tapi dia terlihat sangat terluka. Tidakkah kaulihat?” Aku mencoba meyakinkan orang itu.

“Tak baik mengurusi kehidupan orang lain,” imbuh yang lain.

BRAK!

Suara seseorang menggebrak meja. Ternyata perempuan itu yang melakukannya. Dia menatap ke arahku. Wajahnya merah padam. Seakan amarah telah begitu dahsyat mengungkung jiwanya. Dia bersiap hendak memuntahkan perkataan lewat mulutnya.

“Bakar! Bakar saja orang itu! Dia seharusnya sudah mati!”

Perempuan itu menunjukku. Seketika berpasang-pasang mata mengikuti telunjuk itu. Menatap perempuan itu, kemudian menatapku. Kami layaknya pemain dalam sebuah film. Mereka pun seolah menanti adegan kami selanjutnya.

“Ma-maaf. Sepertinya Anda salah orang, Nona. Bahkan saya tak pernah mengenal Anda.”

Aku berkata dengan sejujurnya. Bersamaan dengan itu, di luar sana mendadak suara petir bersahutan membelah langit. Gemuruhnya merambat. Atap perpustakaan seakan hampir runtuh dibuatnya. Sejenak lalu, listrik pun padam. Dalam kegelapan, aku melihat perempuan itu tak segarang tadi. Dia masih berada di tempat favoritku. Tapi aku tak bisa melihat orangorang. Ke mana mereka pergi? Mengapa hanya perempuan itu yang mampu kulihat?

Dalam kegelapan yang kian pekat, aku justru mampu melihat sebuah kejadian. Di sana aku berdiri. Sedangkan beberapa orang mulai merajuk, bersimpuh di kakiku. Yang lainnya sibuk mencari air. Tapi aku tak memedulikan mereka. Aku tertawa pongah dan tak menyadari bahwa salah satu di antara mereka adalah perempuan itu.-

Semarang, Juli 2019-Juli 2020

Reni Asih Widiyastuti ialah penulis asal Semarang, Alumnus SMK Muhammadiyah 1 Semarang. Menulis cerpen, cerma, cernak dan resensi buku. Karya-karyanya dimuat di berbagai koran lokal. Salah satu bukunya telah terbit, yaitu Pagi untuk Sam. Penulis bisa dihubungi melalui email; reniasih17@gmail.com atau melalui akun Instagram: @reniasih17

————- *** —————

Tags: