Perisai Hoax dan Radikalisme

Oleh :
Mulyanto
Pegiat Pendidikan Anak, Staf SD Muhammadiyah 4 Surabaya

Insiden teror penusukan Menkopolhukam Bapak Wiranto yang terjadi baru-baru ini sungguh menyayat hati. Terlebih dalam peristiwa memilukan itu disaksikan ribuan pasang mata warga di lokasi kejadian. Kemudian tragedi suram yang berlangsung cepat itu pun akhirnya tersebar luas ke seantero pelosok negeri melalui video amatir. Bersumber video amatir itulah kemudian media sosial dan media massa daring yang sangat cepat dan massif pun ikut mereportase dan mempublikasi ke khalayak luas. Maka disaksikanlah potret teror itu oleh jutaan mata warga senatero jagad ini. Dan tanpa disadari pula ada pelibatan jutaan pasang anak-anak belia-yang tinggal klik di HP-turut menyaksikan tragedi tersebut.
Memang yang memilukan tentu saja adalah aksi tidak manusiawi di muka umum itu. Tapi bukan lantas kabar tak sedap itu patut dikonsumsi semua orang. Apalagi setelah dikonsumsi lalu dikritisi dengan aneka opini yang tak lagi murni. Ada yang mengabarkan Bapak Wiranto ditusuk-masih-anggota ISIS, komplotan suatu agama yang militan, dan sebagainya dan seterusnya. Padahal bisa jadi si penusuk adalah orang depresi, kecewa pada individu Bapak Wiranto, atau hal lain.
Selain itu, rakyat yang tua dan bahkan yang bau kencur pun saling sebar kabar sana sini. Tak hanya sebar, bahkan jutaan caption-caption tak bertanggungjwab pun dibuat sedemikain liar mengiringi penyebaran video amatir dan berita insiden tersebut. Sehingga akibat ulah tak patut itu-fitnah sana sini itu-suasana menjadi semakin gaduh dan liar. Mestinya bersabarlah biar semua terurus oleh pihak berwenang.
Bila ditarik kesimpulan, maka yang benar-benar tak manusiawi bukan hanya pelaku penusukan terhadap mantan panglima jenderal itu-dengan dalil apapun itu. Melainkan juga para penyebar berita kebohongan (hoax) yang tak berperasaan. Saya berdoa semoga peristiwa itu pungkas, terakhir, dan tak akan pernah ada lagi.
Tanamkan Cinta di Keluarga
Sesungguhnya ayah dan ibu di rumahlah perisai sejati. Penangkal jitu terhadap hoax dan radikalisme. Maka ayah dan ibu harus sehat badan dan sehat hati dalam keseharian. Menjadi teladan dan selalu menghembuskan cinta dan kedamaian dalam keluarga.
Orang tua memprioritaskan terbentuknya generasi gimalang untuk masa depan. Mengusahakan pendidikan anak yang terbaik. Memberi asupan lahir dan batin yang sehat. Pergaluan sehat, dan tontonan sehat. Terhadap paham melenceng atas nama agama apapun dijauhi dan dibuang ke dasar jurang. Dan terhadap kabar yang belum jelas kebenarannya tidak mudah tersulut apalagi cepat-cepan menyebarluaskan. Saring dulu sebelum sharing.
Hemat saya sedikitnya ada tiga hal yang harus dilakukan orang tua untuk memutus mata rantai bahkan dapat menjadi perisai bagi anak akan paham radikalisme. Pertama, tanamkan kebiasaan cinta dalam keseharian. Berbagi dengan relasi sosial yang saling kasih-mengasihi, sejuk-menyejukkan, damai-medamaikan, dan bersosial dengan penuh cinta. Kedua, terangkan kepada anak-anak bahwa agama jenis apapun pasti mengajarkan tentang cinta, kasih, dan kedamaian. Terlebih semboyan Islam, misalnya, sebagai rahmat bagi semesta alam, rahmatan lil’alamin sudah final dan tertera dalam kitab suci umat Islam. Ketiga, menjelaskan dan melarang anak-anak sejak dini mendengungkan jargon kebencian pada kelompok dalam relasi agama lain. Misalnya sebuah yel-yel keras: Islam Yes, Kafir No. ini jelas menyemaikan benih benci pada agama lain.
Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah di rubrik Bincang Penanggulangan Terorisme Jawa Pos (19/5/2018) memberikan kiat membentengi institusi keluarga agar tidak terseret dalam lumpur nista terorisme. Dalam konteks pendidikan keluarga dan di sekolah menurut Mu’ti, diperlukan adanya komunikasi dan sinergi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Menurutnya yang perlu dilakukan sekolah adalah lebih meningkatkan lagi bimbingan dan pendampingan keagamaan. Dia menegaskan masalah radikalisme bukan hanya terkait dengan paham agama atau organisasi, tapi juga masalah bangsa. Seperti politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya.
Jadikan Rumah Laksana Surga
Orang tua wajib memberi cinta terbaik untuk keluarga. Utamakan pembiasaan beribadah sesuai agama yang biasanya mengajarakan kesejukan sehingga memberi nuansa suraga dalam rumah. Hindari pikiran, perkataan, dan perbuatan yang negatif, dan berusahala selalu menjadi lebih baik. Itulah yang perlu diperjuangkan seluruh penghuni rumah dalam sehari-hari.
Oleh karena ayah dan ibu adalah tameng terkokoh dalam membentengi anak dari paham radiklisme atau perilaku buruk lainnya. Sehingga orangtua harus sepenuh hati menjadi orangtua. Bukan menjadikan peran orangtua sebagai sampingan karena peran memiliki karir yang nomor satu. Minimal berimbang antara karir dan keluarga.
Kemudian dalam sehari-hari, bijaknya orangtua berhati-hati dalam bertindak tanduk dan ucapan-ucapannya. Sebab pola pikir dan tindakan orangtua kerap menular kepada buah hatinya di dalam keluarga. Khususnya di periode masa anak-anak ini (PAUD-SD) rentan terbentuk pola pikir dari apa yang ia rasa, lihat, dan dengar. Jika salah atau tak hati-hati dalam tindak tanduk ini yang terjadi bisa bukan surga tercipta sesuai mimpinya. Tapi neraka yang amat buruk.
Saat anak mulai beranjak remaja, orangtua perlu memberi kebebasan terukur pada anak dalam bersosial. Yaitu memberi lapangan luas untuk anak berbuat kebajikan di lingkungan, di rumah, di sekolah, dan di masyarakat. Namun, semua dalam kontrol orangtua. Bisa berupa “membuntuti” setiap aktivitas anak. Misalnya aktivitas di media sosial maupun di pergaulan secara nyata. Teramat perlu orangtua juga selalu memantau perkembangan akademik dan tumbuh kembang anak di sekolah melalui komunikasi yang santun dan bijkasan dengan guru-gurunya. Bila perlu ikut masuk ke dalam oraganisasi komite sekolah untuk turut bahu-membahu memikirkan kemajuan sekolah tempat putra-putrinya belajar.
Memang anak belajar dari suasana di rumahnya. Jika anak hidup di dalam nuansa kerukunan, kedamaian, ketentraman, kesejukan dalam keluarga, maka anak belajar tentang cinta kasih sayang. Kalau anak terbiasa diperlakukan secara sportif dan kejujuran oleh orangtua, ia belajar kebenaran dan keadilan.
Tetapi, kalau anak hidup dalam keluarga penuh kritik, ia sejatinya belajar menjadi manusia yang suka menyalahkan orang lain. Kalau ia hidup dalam permusuhan, ia belajar untuk berkelahi. Kalau hidup dalam cengkraman ketakutan, ia belajar gelisah. Kalau anak hidup dengan rasa malu, anak dihantui rasa bersalah.
Orangtua harus sepenuh hati memotivasi anak. Baik buruknya anak karena orangtua. Pun bila anak dikucilkan di sekolah, orangtua jangan mudah menyalahkan guru atau teman sebayanya di sekolah, apalagi menyalahkan si anak. Jangan. Orangtua hanya perlu hadir. Memberi semangat untuk mendongkrak potensi yang tersembunyi di bawah permukaan.
Menghardik anak bukan hanya melukai hati anak tapi menyimpan memori buruk di benak dan hati anak. Bisa jadi di kemudian hari siap menguak. Kadang anak yang “gagal” di masa muda mereka menemui sukses di masa mendatang karena kehadiran cinta orangtuanya. Sebaliknya, kita dibuat tercengang karena mendapati pelaku kejahatan atau ambil contoh pelaku teror adalah orang yang dikenal baik di masayarakat.
Maka orangtua jangan mudah menyulut amarah. Sabar dan bersyukurlah. Terus tanamkan cinta dan keteladanan. Takutlah kalau gagal menjadi orangtua. Risaulah kalau anak-anak Anda gagal di kelak kemudian hari. Soal kesulitan belajar anak hari ini-pelajaran di sekolah-rasanya bukan batu penghalang anak menjadi gemilang. Ia hanya kerikil yang perlu ditepis dengan telaten dan sabar mulai saat ini. Semoga berguna.

———- *** ————

Rate this article!
Tags: