Keberadaan pupuk tidak saja mempengaruhi capaian produksi, namun berdampak sosial sangat luas karena menjangkau sekitar 17 juta petani, pada 6.063 Kecamatan, 489 Kabupaten dan 34 Provinsi. Data tersebut, setidaknya pengingat bahwa upaya peningkatan produktivitas pertanian dapat terwujud salah satunya dukungan dari kegiatan pemupukan. Berangkat dari realitas itulah, maka sudah semestinya jika tata kelolanya menjadi perhatian seluruh pihak terkait. Apalagi, di era 4.0, di mana transparansi publik dan pertanggungjawaban sosial selalu menjadi sorotan. Hal ini menjadi tantangan yang luar biasa bagi petugas yang menangani pupuk bersubsidi.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (Ditjen PSP) Kementerian Pertanian (Kementan) RI, dinyatakan bahwa kebutuhan pupuk untuk petani mencapai 22,57-26,18 juta ton atau senilai Rp 63 triliun-Rp 65 triliun dalam lima tahun terakhir. Tetapi, mengingat keterbatasan anggaran pemerintah hanya dapat mengalokasikan pupuk bersubsidi sebanyak 8,87 juta-9,55 juta ton dengan nilai anggaran Rp 25-32 triliun, (Republika, 2/11/2021).
Merujuk dari data tersebut, bisa digaris bawahi bahwa tata kelola pupuk di negeri ini masihlah kurang, sehingga kedepannya perlu perbaikan bahkan penguatan tata kelola pupuk agar potensi masalah yang menjadi persoalan pupuk bersubsidi yaitu perembesan antar wilayah, isu kelangkaan pupuk, mark up Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk di tingkat petani, alokasi menjadi tidak tepat sasaran, dan produktivitas tanaman menurun tidak harus terjadi. Pasalnya, jika masalah-masalah tersebut tidak terantisipasi dikhawatirkan akan berdampak lebih lanjut bagi turunnya produktivitas tanaman.
Gumoyo Mumpuni Ningsih
Dosen FPP Universitas Muhmammadiyah Malang.