Perlindungan Guru dan Anak

Oleh :
Yogyantoro
Pendidik dan Penulis Lepas

Pemerintah Daerah Kota Surabaya patut berbangga atas keberhasilan menurunkan kasus kekerasan pada perempuan dan anak sehingga mendapatkan penghargaan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk kategori pemerintah daerah yang memiliki komitmen dalam penyelenggaraan perlindungan anak dan melaporkan capaian berbasis SIMEP (Sistem Monitoring Evaluasi dan Pelaporan). Anugerah KPAI yang telah diserahkan secara virtual oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Dharmawati pada 22 Juli 2020 lalu adalah catatan emas yang sekaligus mengingatkan kita pada pekerjaan rumah yang belum rampung yaitu masih adanya pihak-pihak yang sebetulnya juga rawan mendapat perlakuan kekerasan seperti tenaga pendidik atau guru.

Menjadi tenaga pendidik di era sekarang memang penuh dengan tantangan yang kian berat. Hal ini sangat berbeda apabila dibandingkan dengan kondisi beberapa tahun lalu. Perlindungan profesi guru sekarang berhadapan langsung dengan Undang-undang Perlindungan Anak. Guru acapkali dilaporkan oleh orang tua atau wali murid atau oleh murid sendiri karena dinilai melanggar hak perlindungan anak ketika memberikan sanksi pelanggaran displin terhadap peserta didiknya. Bahkan menyuruh push up atau menyuruh berlari mengelilingi lapangan misalnya, telah dinilai tidak lagi mendidik dan dianggap melanggar Undang-undang Perlindungan Anak.

Padahal dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa guru, secara khusus adalah pendidik profesional dengan tugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, dan mengevaluai peserta didik. Namun masyarakat dan orangtua banyak yang belum memahami bahwa tugas guru bukan hanya sekadar mengajar tetapi juga mendidik, membimbing dan membina peserta didik. Bahkan beberapa tahun lalu, Aop Saopiudin, seorang guru honorer di SDN Penjalin Kidul, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat harus berurusan dengan hukum hanya karena mencukur rambut peserta didiknya.

Apabila kasus demi kasus seperti contoh di atas selalu terjadi maka akan menjadikan guru-guru Indonesia bersifat apatis dan memiliki ketakutan untuk bertindak dalam menerapkan hukuman dalam upaya mendisiplinkan siswa. Mereka akan cenderung mendiamkan apabila menyaksikan tindakan indisipliner yang dilakukan oleh peserta didik karena khawatir akan terjerat ke dalam kasus hukum atau bahkan bisa berujung kepada dipenjarakannya guru yang bersangkutan.

Sementara itu untuk mewujudkan tujuan pendidikan perlu ditanamkan sikap tanggung jawab, disiplin, tertib, jujur, beriman dan bertakwa dan lain sebagainya. Oleh karena itu, hukuman diperlukan apabila ada peserta didik yang melanggar tata tertib yang berlaku. Hukuman yang dimaksud adalah bentuk upaya positif mendisiplinkan peserta didik terhadap peraturan yang telah disepakati bersama. Guru yang secara yuridis telah diakui sebagai sebuah profesi, seringkali dituntut secara hukum karena dianggap melanggar hak-hak anak ketika melakukan upaya mendisiplinkan peserta didik. Sedangkan hak-hak guru sendiri untuk mendapatkan perlindungan hukum, perlindungan profesi, dan keselamatan kerja masih kurang mendapat perhatian bahkan masih terabaikan. Di Amerika Serikat (AS) sebagai sebuah negara maju kasus kekerasan terhadap guru juga masih terjadi. Berdasakan survei yang dilakukan oleh American Psychological Association, sebuah organisasi profesional dalam bidang psikologi terungkap bahwa sekitar 80% pendidik di AS dilaporkan pernah menjadi korban kekerasan di sekolah antara 2010-2011.

Ada upaya penyelesaian masalah yang telah ditempuh pemerintah dengan menerbitkan aturan hukum seperti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang Guru dan Dosen, Pasal 39 yang menegaskan bahwa “Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja (ayat 3). Beberapa alternatif lain dalam penyelesaian masalah yang dapat dilakukan yaitu pertama, mensosialisasikan aturan hukum perlindungan guru kepada masyarakat luas yang melibatkan pihak-pihak terkait seperti komite sekolah, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Kedua, mengoptimalkan peran guru Bimbingan Konseling (BK) sebagai mediator antar guru dan orangtua/ wali murid, dan ketiga, menyelenggarakan Bimbingan Teknis (Bimtek) tentang perlindungan hukum bagi guru yang meliputi konsultasi, mediasi, konsiliasi, advokasi ligitasi, advokasi nonligitasi dan negosiasi .

Penulis sependapat dengan konsep Tri Sentra Pendidikan yang disampaikan oleh Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantoro bahwa ada 3 (tiga) pusat pendidikan bagi anak-anak atau peserta didik, yaitu alam keluarga, alam perguruan (sekolah), dan alam pergerakan (masyarakat). Berbagai kasus kekerasan terhadap guru yang terjadi di dunia pendidikan kita di sebabkan oleh kurang terjalinnya kerja sama atau hubungan antara 3 elemen pendidikan tersebut. Perlindungan yang komprehensif terhadap profesi guru yang meliputi: perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja (K3) dan perlindungan hak atas Kekayaan Intelektual (HaKi) sepatutnya dipahami oleh seluruh elemen masyarakat.

——– *** ——–

Rate this article!
Tags: