Piala Dunia, Pilpres dan Akal Sehat

1398749354408212796Oleh:
Anhar Putra Iswanto
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang; Pendukung Jerman Piala Dunia 2014

Peluit Piala Dunia 2014 telah ditiup Jumat dini hari, 13 juni 2014 waktu Indonesia. Hampir semua mata manusia mengarah pada Brazil, negara dimana Piala Dunia dihelat. Memang, tidak ada olahraga paling ramai di dunia, kecuali sepak bola. Ia mampu menyihir setiap manusia yang melihatnya. Otak-atik bola di lapangan, taktik para pemain, dan kondisi menegangkan mampu menyulut teriakan, tepuk tangan, kegembiraan, yel-yel, bahkan mampu membakar semangat patriotimse setiap negara yang bertanding.
Seorang penggila bola Nick Hornby bahkan menulis puisi “…Otak yang kritis berhenti seketika. Aku tak berfikir sama sekali tentang kesakitan dan kekacauan yang mungkin terjadi karenanya”. Tak diragukan lagi, sepak bola mampu menuyulut semangat fanatisme yang tidak sedikit berujung pada konflik dan mengorbankan jiwa, sebagaimana yang terjadi di Indonesia.
Sepak bola adalah hiburan paling adil di muka bumi. Tidak ada batasan bagi siapapun untuk menikmatinya. Kaya atau miskin, pejabat atau tukang becak, petani atau pengusaha, semua lebur dalam satu iuforia bernama piala dunia. Setiap orang berhak untuk gembira, tepuk tangan, atau bersedih manakala timnya mengalami nasip buruk.
Di emperan toko, warung kopi, restoran mahal, lapangan umum, bahkan di desa terpncil, orang bersorak ramai menyaksikan piala dunia. Mereka bebas berdiskusi, memprediksi siapa menang, siapa kalah, meskipun tidak pernah menjadi pengamat sepak bola, tapi itulah keadilan sepak bola. Bahkan sepak bola mampu membuat orang lupa pada sekelumit persoalan ekonomi, politik, dan keadilan di negerinya sendiri. Orang juga bisa lupa pada hutang karena bola.
Di Indonesia, Piala Dunia Brazil akan menjadi hiburan tersendiri saat pemilu presiden 2014. Aroma panas dalam kompetisi tidak aja dirasakanoleh mereka pendukung fanatik Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Ketegangan juga dirasakan fans dan pendukung negara-negara peserta piala dunia. Karena itu, baik sepak bola atau pemilu, masing-masing adalah kompetisi, yang tujuannya tidak lain keculai kemenangan. Tentu saja kemenangan dengan cara yang bermartabat.
Sebagaimana motto Olimpiade, menjadi kuat (fortius), lebih cepat (citius), dan lebih tinggi (altius), kita bertanya, dapatkah pemilu menjadi ajang untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa menjadi lebih tinggi? Dapatkah pemilu menjadi momentum untuk melakukan seleksi kepemimpinan nasional untuk menjadi bangsa lebih kuat? Semangat piala dunia harus juga ada dalam semangat pemilu, yaitu kompetisi yang fair, tidak curang, dan menjunjung tinggi etika dalam permainan.
Kita tidak ingin seperti kata Nick Hornby, sepak bola yang mampu membutakan manusia pada kebenaran yang sesungguhnya. “Aku jatuh cinta pada sepak bola seperti aku jatuh cinta pada perempuan”. Cinta atau kecintaan sering mendistorsi akal sehat. Cinta pelan-pelan meracuni naluri dan meredupkan kebenaran hakiki. Maka terjadinya fanatisme, fundamentalisme dan radikalisme terhadap apa yang dicintai, sekaligus mengisolasi, radikal dan menolak apaun dari sisi yang lain. Maka benarlah kata Nabi Muhammad Saw. “barang siapa yang cinta kepada sesuatu, maka ia akan menjadi hamba-hambanya”.
Di Eropa, sepak bola tidak hanya sekedar lahir sebagi hiburan. Tetapi telah menjadi “agama” baru bagi masyarakat Eropa. Fanatisme pada sepak bola membawa masyarakat pada keyakinan-keyakinan terntentu. Bahkan, jumlah fans sepak bola lebih banyak daripada yang memiliki status agama tertentu. Bahkan, agama menurut Ralph Waldo Emerson  adalah hiburan sastra bagi masa berikutnya. Sehingga tidak jarang orang lebih memilih alianasi pada klub sepak bola daripada secara khusus mengakui agama tertntu.
Yang lebih radikal adalah Richard Dawkins dalam novelnya The God Delusion mengatakan bahwa agama tidak lain dan tiada bukan kecuali sebuah delusi (khayalan). “ketika satu orang mengidap delusi, maka itu adalah kegilaan. Namun ketika banyak orang mengidap delusi, maka itulah agama” kata Dawkins.
Tentu saja kita berharap pemilu sebagai proses demokrasi politik tidak terjerat dalam fanatisme baik pendukung Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK. Kita melihat pemilu sebagai proses yang “natural” bagi terselenggaranya demokrasi yang efektif dan akuntabel. Karena itu, berbagai bentuk kampanye negatif (negative campaign) ataupun kampanye hitam (black campaign) akan melahirkan sikap yang merusak keindahan kompetisi.
Semangat yang besar tentu saja didorong oleh ekspektasi yang besar pula. Maka kita mengerti gemuruhnya semangat masyarakat Indonesia pada pilpres dikarenakan munculnya harapan yang besar pula pada sosok presiden dikemudian hari. Masyarakat meyakini bahwa presiden nanti dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang ada, seperti korupsi, kemiskinan, penganguran, dan sebagainya. Karena harapan pulalah warga Brazil berharap pada Neymar untuk mengantarkan negaranya juara Piala Dunia 2014.
Meskipun sebagian rakyat Brazil terus melakukan aksi demonstrasi menolak Piala Dunia Brazil 2014, pada akhirnya mereka akan luluh saat pluit Piala Dunia dimulai kata Shindunata (Kompas, 11/6). Brazil mengeruk anggaran dana pemerintah sebanyak 130 triliun untuk menyelenggarakan “hiburan” dunia. Para aktivis buruh dan kelompok kiri di Brazil menuntut anggaran sebesar itu lebih baik untuk membangun ekonomi Brazil yang belum membaik, masih terdapat rakyat miskin dan meningkatnya jumlah pengangguran.
Sepak bola tidak lagi menjadi hiburan bagi rakyat, melainkan komoditas yang disokong oleh watak kapitalisme ekonomi global. Hiburan direduksi oleh kuasa ekonomi padat modal. Inilah yang menjadi kritik sosiolog Anthony Giddens atas realitas kapitalisme global. Kapitalisme bekerja dengan menguatkan yang disebut risk society (masyarakat resiko). Nalar pembangunan modern tidak selalu berorientasi pada pembangunan manusia secara mendasar, melainkan tunduk pada mekanisme dan perintah kapitalisme. Kelompok demonstrasi menilai Brazil telah menjadi “alat” FIFA untuk mengukuhkan eksistensi kapitalisme global.
Sebaaimana sepak bola, Pilpres 2014 juga riuh dengan hiruk-pikuk padat modal. Masing-masing kandidat berupaya sedemikian rupa untuk mendapatkan dukungan publik, termasuk bantuan finansial. Karena itu, kontestasi pilpres juga dikuti oleh kompetisi ekonomi para pembisnis dan pemilik modal. Pada akhirnya, pemerintahan akan tersandra oleh kerja para rente politik yang mencari keuntungan dengan menggelontorkan berbagai macam proyek pemerintah.
Besar harapan kita bahwa Pilpres 2014 membawa perubahan bagi bangsa. Tidak sekedar sebagai medium pemilihan presiden, tetapi yang paling penting adalah munculnya gairah dan semangat baru untuk membangun bangsa yang lebih baik, sebagaimana semangat Piala Dunia 2014.
Terakhir, siapapun yang terpilih sebagai presiden nanti, tugasnya adalah sebagaimana yang dikatakan Reinhold Niebuhr tugas pemimpin adalah menegakkan keadilan di dunia yang penuh dosa. Kita tunggu siapa pemenangnya!

Rate this article!
Tags: