Pilkada di DPRD Rawan ?

Karikatur PilkadaDPR-RI periode 2009-2014 akan maraton mengesahkan pasal baru tentang tatacara pilkada. Arahnya, pilkada tidak dikehendaki langsung, melainkan dipilih oleh DPRD. Tetapi sudah banyak Kepala Daerah (Gubernur maupun Bupati dan Walikota) menolak. Sebaliknya, yang baru akan running pilkada lebih suka pilihan di DPRD, karena ongkosnya lebih murah. Pada sisi lain, kas daerah (APBD) tidak terkuras samasekali.
Dulu (Pilgub tahun 1998) “harga” tali-asih kepada anggota DPRD Jawa Timur, masih sekitar Rp 3 juta per-anggota. Pada tahun 2003, harga tali-asih sudah berubah menjadi Rp 600-an juta. Sehingga untuk menjadi gubernur, diperlukan modal Rp 42 miliar, sudah mengantongi 70 suara (dari 100 orang anggota DPRD). Itu sudah menang telak (70persen), tanpa ada yang golput. Tetapi mulai pilgub tahun 2008, APBD Jawa Timur harus menanggung biaya pilkada sampai Rp800 miliar. Sedangkan ongkos yang dikeluarkan oleh pasangan calon, pasti, lebih besar lagi.
Pilkada merupakan amanat UUD pasal 18 ayat (4). Bunyinya, “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.”  Hasil amandemen kedua ini di-breakdown dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Pada pasal 56 ayat (1) yang ditafsirkan sebagai dipilih langsung oleh rakyat.
Terdapat perbedaan antara Pilkada dengan Pilpres. Dalam UUD, amanat pilpres tercantum pada pasal 6A ayat (1). Dinyatakan, “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.” Nyata-nyata terdapat amanat tatacara pemilihan, yakni dipilih secara langsung oleh rakyat. Sedangkan pada pilkada, tidak terdapat kata langsung oleh rakyat. Melainkan dengan frasa kata “dipilih secara demokratis.”
Frasa kata itulah yang di-dalih-kan oleh DPR-RI untuk mengembalikan pilkada kepada DPRD. Toh, dipilih oleh DPRD bisa dilaksanakan secara demokratis. Hasil amandemen kedua terhadap UUD 1945 itu selanjutnya di-breakdown dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (sering disebut UU Otoda). UU tersebut mengatur tatacara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam Bab IV bagian kedelapan.
Pada pasal 56 ayat (1) dinyatakan “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.” Juga tidak terdapat amanat pilihan langsung oleh rakyat. Adapun kehadiran parpol (lalu menjadi hak mutlak) tercantum pada pasal 56 ayat (2). Bahwa pasangan calon diajukan oleh parpol, sampai mencukupi 15 persen suara hasil pileg.
Darimana datangnya amanat pilkada langsung oleh rakyat? Boleh jadi, hal itu sebagai penafsiran UU Otoda pasal 57 ayat (1). Secara tekstual dinyatakan, “Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggungjawab kepada DPRD.” Frasa kata  (KPUD sebagai penyelenggara) memang lazim dipahami sebagai pilihan langsung. Walau sebenarnya, bisa saja KPUD sekadar sebagai “panitia.”
Konon pilkada oleh rakyat, memiliki tujuan strategis. Yakni, agar Kepala Daerah tidak mudah dilengserkan. Dengan dipilih langsung, Kepala Daerah “sama-sama sakti” dengan DPRD. Sama-sama mengantongi legitimasi dari rakyat. Tetapi Pemilihan Kepala Daerah dipilih oleh DPRD maupun dipilih langsung oleh rakyat, sebenarnya sama saja. Potensi politik uang tetap besar.
Yang lebih diperlukan adalah perbaikan sistem rekrutmen bakal pasangan Kepala Daerah. Sebagaimana diamanatkan UU Otoda pasal 59 ayat (3), “… politik wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat … dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.”
Tetapi seperti kata-kata joke, “no lunch free,” tidak ada makan siang gratis (dalam rekrutmen politik)

                                                                  ————— 000 ————–

Rate this article!
Pilkada di DPRD Rawan ?,5 / 5 ( 1votes )
Tags: