Pilpres, Dua Pasang Lebih Baik

Yunus Supanto

Yunus Supanto

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik 
Siapa bakal memimpin negeri berpenduduk 250 juta jiwa ini? Berdasar keyakinan masyarakat, hal itu sudah menjadi pulung takdir. Apapun caranya. Dahulu kala (zaman kerajaan) bisa dengan cara kudeta. Pada zaman penjajahan bisa dengan devide et-impera. Lalu anak negeri merebutnya kembali untuk mendirikan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sejak NKRI, diberlakukan sistem kerakyatan (demokrasi) yang (mestinya) lebih teratur melalui pemilihan umum (Pemilu).
Indonesia secara resmi menganut sistem demokrasi. Metode yang dianut tercantum dalam mukadimah UUD 1945 alenia keempat. Bunyinya “… susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Demokrasi Indonesia (kerakyatan) di-breakdwon dalam batang tubuh UUD pasal 22E. Secara khusus tentang kepemimpinan (presiden) diatur oleh UUD pada pasal 6A sampai pasal 16 (hasil empat kali amandemen sejak 19 Oktober sampai 9 November 2001). Siapa bakal menjadi presiden? Hal itu secara khusus diatur pada pasal 6A dalam 5 ayat. Yakni dipilih melalui pemilihan presiden (pilpres) yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Siapa bakal maju dalam pilpres?
Terjawab sudah, teka-teki siapa menjadi bakal Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pilpres 9 Juli 2014. Inilah pilpres dengan hanya dua pasang kubu kontestan. Yang mendaftar pertama, pasangan Joko Widodo (Jokowi) berpasangan dengan Jusuf Kalla (sebagai bakal Cawapres). Kubu ini didukung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Nasdem, Hanura dengan leader PDI-P. Total dukungan di parlemen akan memiliki 207kursi (36,9% dari total 560 kursi DPR-RI).
Kubu kedua yang sudah resmi mendeklarasi adalah Prabowo Subianto, berpasangan dengan Hatta Rajasa (sebagai bakal Cawapres). Ketika deklarasi, kubu ini dihadiri pula oleh Ketua Umum Partai Golkar Abu Rizal Bakrie. Jika Golkar turut dalam kubu ini, maka total dukungan suara di parlemen akan memiliki kursi koalisi sebanyak 292 orang (52,1%). Parpol pendukung kubu Prabowo-Hatta terdiri dari Gerindra (73 kursi) PAN (49), PKS (40), PPP (39), serta Golkar (91).
Sebenarnya masih terdapat dukungan mengambang di parlemen, sampai sebesar 11%. Itu tak lain, milik Partai Demokrat, yang belum menentukan arah koalisi. Tetapi (kesertaan Partai Demokrat dalam koalisi) menjadi tidak penting benar. Sebab persyaratan pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden, cukup sebesar 20% kursi parlemen. Andai Partai Demokrat pilih bergabung dengan Partai Gerindra, maka kubu Prabowo akan memiliki dukungan sebesar 63%.
Zalimnya Presidential Threshold
Berdasarkan pasal 6A ayat (2) pencalonan presiden seharusnya dilakukan sebelum pileg. Tapi amanat UUD itu diingkari. DPR periode 2004-2009 membuat UU Pilpres yang beertentangan dengan UUD. Yakni, adanya presidential threshold. Pilpres menjadi semakin tak mudah, karena terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi melalui UU Pilpres secara khusus.
UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, mengatur persyaratan dukungan (hasil pileg) yang di-kurs dengan jumlah kursi di parlemen. Pada pasal 9 dinyatakan, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit dua puluh persen dari jumlah kursi DPR …”
Dengan persyaratan itu, calon presiden harus memiliki ambang presidential threshold yang setara dengan 112 kursi hasil pileg 2014. Tiada satu pun parpol yang bisa mencalonkan presiden secara mandiri. Pada pileg Mei lalu, suara tertinggi diperoleh PDIP dengan meraih 112 kursi di parlemen. Harus koalisi dengan parpol lain.
Walau sebenarnya Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan persyaratan Presidential threshold. Bahkan MK juga menetapkan, dengan hilangnya presidential threshold, maka pilpres harus dibarengkan dengan pileg. Dus konsekuensinya, setiap parpol bisa mengajukan Calon Presiden-nya masing-masing. Tapi ketetapan MK itu ditambahi dengan paragraf, berlaku pada tahun 2019 (lima tahun mendatang).
Peta koalisi antar-parpol yang terang-benderang untuk pilpres 2014, telah menunjukkan adanya single majority. Kubu pasangan Prabowo-Hatta setidaknya sudah mengantongi 52,1%. Tetapi single majority hasil koalisi tidak menjamin kemenangan pada proses pemilihan langsung. Hal itu sudah berkali-kali terjadi pada pilkada kabupaten dan kota, serta pemilihan gubernur. Termasuk pilgub di Jakarta, terutama pada putaran kedua.
Rivalitas pasangan Jokowi-Ahok dengan Foke-Nara, nampak tidak seimbang. Jokowi-Ahok hanya didukung PDIP dan Gerindra. Bahkan Cagub yang saat itu masih Walikota Solo, tidak memiliki hak pilih. Sedangkan pasangan Foke-Nara didukung oleh seluruh parpol sisanya (30 parpol). Pasangan ini diusung koalisi dengan leader parpol pemenang pemilu 2009 di Jakarta (Partai Demokrat). Hasilnya? Diluar dugaan semua pengamat.
Branding vs Majority
Siapa tak miris mengikuti perhitungan suara hasil pemilihan gubernur Jakarta? Seolah-olah berbagai paradigma “di-jungkir balik-kan.” Faktor incumbent, putra daerah, maupun anggaran kampanye “un-limited” tidak berlaku lagi. Bahkan saking mengejutkan, hasil quick count (hitung cepat) pun diragukan. Padahal sejak 7 tahun silam, sudah puluhan proses pilkada, termasuk pemilihan gubernur Jawa Timur, selalu diprediksi awal dengan quick count, dengan hasil akhir 99% sama persis dengan perhitungan KPUD.
Pada tataran popularitas, pasangan Jokowi-Ahok memiliki faktor ke-terkenal-an memadai dalam berbagai survei independen, tetapi masih kalah dibanding Foke-Nara. Pada survei setelah pendaftaran cagub-cawagub yang diselenggarakan oleh The Cyrus Network, ke-kenal-an Fauzi Bowo mencapai 95% dengan tingkat elektabilitas (ke-terpilih-an) sebesar 42,4%. Angka ini diatas popularitas Jokowi sebesar 71,8% dan tingkat keterpilihannya mencapai 31,8%.
Tetapi perolehan Jokowi dianggap spektakuler serta tren eskalasi yang pesat. Karena baru dua bulan “jalan-jalan” di Jakarta sudah meraih elektabilitas 31,8%. Dan benar saja, elektabilitas Jokowi-Ahok terus meroket sampai pada saat coblosan pilgub. Hasilnya, dipastikan mendapat suara terbanyak. Jokowi-Ahok unggul di lima kota. Sedangkan Foke-Nara hanya menang di Kabupaten Kepualauan Seribu. Ini kekalahan kubu single majority yang cukup telak, karena selisihnya hampir 8 persen.
Tetapi memang, pilpres beda dengan pilkada (pilgub maupun pibup dan pilwali). Juga beda dengan pileg. Pada pilpres, money politics hampir tidak berlaku. Selain dukungan (dan kerja keras) tim sukses koalisi, juga sangat ditentukan oleh branding, pencitraan. Dulu, faktor pencitraan sangat menentukan kemenangan SBY dalam pilpres 2004. Sebelumnya (tahun 2002), pada pemilihan Wapres oleh MPR, SBY dikalahkan oleh Hamzah Haz. Bahkan perolehan suara SBY masih jauh tertinggal oleh Akbar Tanjung.
Kini, pencitraan sudah dibangun secara masif oleh kubu Jokowi-Jusuf Kalla, maupun oleh Prabowo-Hatta Rajasa. Branding sudah ditebar sebelum pileg, melalui ribuan baliho, dan iklan media cetak, media elektronik, sampai media sosial. Juga (eksesnya) muncul pula counter-branding. Kini, koalisi pun sudah ditetapkan oleh parpol pendukung masing-masing. Tim sukses sudah bergerak cepat sampai 40 hari kedepan.
Kontestansi dua pasangan sesungguh lebih baik, karena pilpres akan berlangsung lebih cepat. Cukup sekali coblosan sudah bisa diketahui hasilnya, sehingga tidak perlu putaran kedua. Selain lebih cepat, itu akan lebih menghemat biaya. Juga tidak perlu berlama-lama memanaskan situasi psikologi sosial.

———— *** ———–

Rate this article!
Tags: