Polemik antara Menonton dan Membaca

Oleh :
Abd. Rasyid
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 

Di tengah arus budaya pop dan juga silang sengkarut ideologi transnasional yang sudah semakin masif ini, eksistensi dan konsistensi minat baca terhadap buku rasanya patut kita curigai. Karena cenderung telah berangsur luntur dari generasi muda bangsa ini dan mulai tergantikan perannya oleh media-media elektronik yang semakin membabi buta bak cendawan dimusim hujan.
Tak ayal faktor pergaulan dan lingkungan sekitar menjadi sasaran empuk dari terdegradasinya minat baca tersebut. Alasan faktor dan lingkungan pun semakin diperkuat dari pelbagai macam studi kasus yang tersebar dilapangan.
Contoh konkret yang sangat sering kita temui adalah ketika kita melihat salah seorang teman sekamar yang biasanya setiap hari rutin youtube-an, nge-game, chating-an, ataupun sebagainya, tiba-tiba mendadak memegang buku. Tentu saja pemandangan langka semacam ini memantik teman-teman yang lain untuk mengocehnya habis-habisan
Bullying dan celotehan-celotehan meremehkan yang serupa pun tak bisa dibendung. Bahkan salah seorang teman yang memang memiliki bakat keahlian dalam bidang bully mem-bully akan membuat korban tidak betah di kamar seharian. Mengatakan ia kerasukan setan, ke-jinan, dan yang lainnya. Atau dalam ungkapan sarkasnya, kira-kira seperti ini “kamu ngapain buka-buka buku, kek ngak ada kerjaan saja” begitulah ledek mereka.
Celetukan semacam tersebut memang terlihat hanya sebatas gurauan saja. Namun ketika diteliti lebih lanjut hal-hal seperti ini secara tidak langsung terkesan menyuruh mereka untuk berhenti membaca dan justru malah cenderung mendorongnya untuk bermain-main dengan gawai mereka, yang pada puncaknya akan membuat penggunanya kecanduan.
Kecanduan yang kerap kali ditemukan dari pengguna gawai biasanya adalah budaya menonton, seperti halnya menonton film, siaran olahraga, dan lain semacamnya. Langkah antisipatif untuk menghindar dari kebiasaan menonton memang terkesan sangat sulit ditemukan, bahkan cenderung naif untuk direalisasikan. Karena disamping sebagai hiburan, menonton juga memiliki alternatif edukasi yang lebih efisen, mudah untuk diakses, dan tidak ribet.
Namun perlu diingat, dibalik kemudahan dan ke-efisienan tersebut, keseringan menonton justru memiliki dampak yang cukup rentan terhadap terdegradasinya budaya membaca. Seperti timbulnya rasa malas, capek dan mager. Contohnya saja, mayoritas orang-orang lebih memilih menonton filmnya langsung di bioskop daripada harus membaca buku novelnya terlebih dahulu.
Film Dilan misalnya. Silahkan bandingkan! lebih antusias mana orang menghatamkan novelnya atau filmnya. Jawabannya sudah jelas. Tiket bioskop lebih cepat ludes daripada eksemplar penjualan buku. Artinya masyarakat lebih antusias untuk menonton daripada membaca.
Sangat miris memang melihat fenomena semacam ini, Namun untuk membantahnya secara langsung rasanya menjadi percuma juga akhirnya. Maka sebagai gantinya, saya mempunyai beberapa insiatif sebagai bentuk apologi atas terdegradasinya budaya baca di negeri ini.
Pertama, dari sekian banyak film terkenal yang beredar di saentero negeri ini, sebut saja “Dilan 1990, Ayat-ayat Cinta, dan Laskar Pelangi” rata-rata semuanya adalah hasil dari adopsi novel-novel populer. Artinya film-film yang sifatnya tontonan, inovasi dan imajinasi untuk membuat film tersebut menarik banyak perhatian penonton, semuanya berawal dari hal-hal yang bersifat bacaan. Bukan malah sebaliknya.
Apologi kedua, informasi dan pengetahuan yang didapat dari hasil membaca lebih memberikan hasil yang holistis dan integral daripada menonton. Analoginya, ketika kita mendapatkan berita hasil dari koran informasinya akan lebih runtut, jelas, dan sesuai sasaran. Daripada informasi yang didapat dari tayangan-tayangan sekilas di telivisi
Alasan terakhir bahwa orang yang gemar menonton kerap kali mudah terprovokasi dan terbawa perasaan, daripada orang yang membaca. Hal ini tak dapat dipungkiri, ketika kita melihat betapa histerisnya teman kita tatkala menonton film-film baper yang penuh dengan adegan dramatasir, ya seolah-olah ikutan main film lah!. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan orang yang membaca. Orang yang membaca mungkin saja ikut larut dalam suasana yang tergambar dalam buku bacaannya, namun responnya tak seresponsif orang-orang yang menonton.
Dengan alasan perihal membaca seoalah lebih membutuhkan waktu yang lama daripada menonton, tentu kita tidak perlu khawatir. Sebab secara inplisit budaya baca yang kita terapkan dalam setiap harinya telah menginplementasikan wahyu Al-Qur’an yang pertama kali turun. Yaitu bacalah !, bukan tontonlah!

———— *** ————-

Rate this article!
Tags: