Polemik Program Organisasi Penggerak Mendikbud

Akhir-akhir ini, jagad dunia pendidikan tanah air tengah diramaikan dengan Program Organisasi Penggerak (POP). Sejatinya, POP yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim merupakan pengejawantahan kebijakan Merdeka Belajar yang sedang digaungkan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Namun, sayang tidak semua harapan itu berbuah manis.

Hal senada, dikutip dari situs Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbud, Program Organisasi Penggerak (POP) adalah bagian dari kebijakan Merdeka Belajar episode keempat pada 10 Maret 2020. Sedangkan, menurut Peraturan Sekjen Kemendikbud Nomor 4 Tahun 2020, Program Organisasi Penggerak adalah program peningkatan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan dengan melibatkan ormas sebagai mitra yang berdampak pada peningkatan hasil belajar peserta didik.

Namun belakangan menjadi sorotan berbagai pihak setelah diumumkannya Lembaga dan Ormas yang lolos seleksi sebagai mitra pelaksana POP. Sejumlah organisasi masyarakat (ormas) besar, seperti Muhammadiyah, PBNU, dan PGRI, menyatakan mundur dari program yang menjanjikan dana hibah hingga Rp567 miliar tersebut. Alasan utama ketiga organisasi tersebut hampir sama yaitu tidak transparannya mekanisme seleksi yang dilakukan oleh Kemendikbud terutama kaitannya dengan kreteria penetapan ormas dan lembaga yang ditetapkan sebagai penyelenggara program, (sindonews.com, 25/7).

Sejatinya, ada baiknya jika anggaran sebesar Rp567 miliar untuk program POP tersebut, digunakan untuk membantu siswa, guru, serta penyediaan infrastruktur, termasuk di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), agar kegiatan pembelajaran jarak jauh (PJJ) berjalan lancar dan semua siswa mendapatkan hak dalam menerima pembelajaran. Sehingga, besar harapan saat ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI mampu mengkaji ulang kebijakan ini secara komprehensif.

Masyud
Pengajar FKIP Universitas Muhammadiyah Malang

Tags: