Potret Perjalanan Tanah Leluhur Danau Sentarum

2- Salah satu pengunjung saat melihat pameran foto di HoS di Art Galeri, KamisSurabaya, Bhirawa
Keberadaan danau Sentarum mungkin belum se-populer danau-danau lain yang tersebar di nusantara. Keberadaannya di daerah perbatasan Indonesia – Malaysia yang sepi membuatnya seakan terisolir dan cenderung luput dari perhatian penyelenggara negara ini, dari wisatawan lokal dan internasional sekalipun.
Taman Nasional Danau Sentarum berada di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat, kira-kira 700 kilometer arah Timur Laut kota Pontianak. Secara administrasi kawasan ini meliputi tujuh kecamatan terdiri dari Kecamatan Batang Lupar, Badau, Embau, Bunut, Suhaid, Selimbau dan Kecamatan Semitau.
Ketua perjalanan dan pendamping Fotografer, Danny Wijaya mengatakan, dari 15 ribu karya kedelapan peserta, setelah diseleksi menjadi 61 foto dan akhirnya dipamerkan di House of Sampoerna (HOS). Dari seleksi tersebut ada beberapa kriteria antara lain mempunyai basic fotografi, punya ketertarikan fotografi perjalanan, dan harus bisa berenang, karena ada di tengah-tengah danau.
” Selama perjalanan ke Danau Sentarum kita naik mobil selama 15 jam dari Pontianak sampai Salembau. Dan biaya hidup disana juga relatif mahal,” katanya ketika ditemui Bhirawa di HoS, Kamis (26/6).
Danny menjelaskan, Topografi danau seluas 80.000 ha ini terhitung istimewa karena bentuknya adalah cekungan datar atau Lebak Lebung (Floodplain) yang merupakan daerah hamparan banjir, dikelilingi jajaran pegunungan sehingga danau ini merupakan salah satu tipe ekosistem hamparan banjir paling luas di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara, yang masih tersisa dan dalam kondisi baik.
” Kawasan Danau Sentarum merupakan daerah tangkapan air di musim hujan yang akan tergenang selama sekitar 10 bulan dengan kedalaman berkisar antara 6-14 meter, namun kondisi kering kerontang yang kontras akan terlihat pada musim kemarau, dimana hanya menyisakan alur-alur sungai kecil di tengah bentangan cekungan danau yang luas,” terangnya.
Danau Sentarum , tambah Danny, adalah asa bagi kehidupan dua kelompok masyarakat, Melayu dan Dayak yang tinggal menetap di sekitaran danau itu. Bila mayoritas masyarakat Melayu memiliki mata pencaharian sebagai nelayan yang terbiasa menjala, memukat, memasang sentaban (jebakan ikan), memelihara ikan dalam keramba serta mengumpulkan ikan-ikan hias, ” maka masyarakat Dayak yang mayoritas terdiri dari suku Dayak Iban, Kantuk, Embaloh, Sebaruk, Sontas, Kenyah dan Punan adalah peladang dan pemburu yang tangguh,” tuturnya.
Dengan dukungan dari Galeri Foto Jurnalistik Antara, House of Sampoerna, Antara Foto, Yayasan Riak Bumi, Imaji Bumi, Yayasan Bumi Khatulistiwa, Omar Niode Foundation, Paperina, Globe Digital Imaging, Matanesia, VSEE, Neo Journalism Club, dan www.enjoydanausentarum.com, Majalah Travelounge .ayorek! , sepuluh fotografer muda Anastasia Widyaningsih, Atet Dwi Pramadia, Bayu Amde Winata, Dhira Danny Widjaja, R. Heru Hendarto, Idham Rahmanarto, Ramadian Bachtiar, Rangga Rinjani, Septiawan, dan Sumarno melakukan pemotretan ke sejumlah daerah di kawasan danau Sentarum dengan tujuan untuk berinteraksi langsung dengan warga setempat, hidup bersama dengan mereka selama beberapa waktu, baik di musim penghujan ataupun musim kemarau.
Hasilnya adalah sebuah pameran foto bertema “Perjalanan ke Tanah Leluhur Danau Sentarum” yang merangkum sebanyak 61 foto yang bercerita tentang keanekaragaman alam, budaya dan pranata sosial lainnya yang diharapkan dapat membuka mata kita akan keberadaannya supaya tidak hanya hadir menjadi pelengkap Bumi Pertiwi melainkan juga merasakannya sebagai bagian dari wilayah NKRI yang utuh dan memiliki keistimewaan tersendiri, sama seperti daerah manapun di Nusantara ini.
Pembukaan pameran foto “Perjalanan ke Tanah Leluhur Danau Sentarum” digelar pada tanggal 26 Juni sampai 08 Agustus 2014. Pembukaan dihadiri antara lain oleh curator GFJA Oscar Motuloh, Guru Besar Arkeologi Universitas Airlangga Laurentius Dyson dan General Manager House of Sampoerna Ina Silas. (geh)

Tags: