Putri Jenang

Oleh :
Norrahman Alif
Relawan Pustaka Bergerak Desa (PUSDES)

Putri Jenang bangkit dari kuburannya setelah seratus tahun ia mati terbunuh Landaur di desa Banuaju dekat goa Badur. Karena Landaur cemburu pada pengeran Banuaju, atas keberhasilannya menaklukan hati Putri Jenang lebih dahulu sebagai kekasihnya. Sementara hari ini Putri Jenang kembali mencari sepotong cintanya yang sudah berkarat di hatinya, sebab ia baru ingat bahwa ada yang ingin ia katakan pada kekasihnya, yang konon menurut lagenda orang-orang Jenangger masih hidup sampai sekarang, namun tidak tahu di mana rimbanya.

Namun hidup yang kedua kalinya Putri Jenang di dunia, bukan lagi berwujud sebagai perempuan cantik laksana bidadari seperti sediakala itu. Ia hari ini menjadi seekor kucing betina, yang setiap orang melihatnya akan terpanah ingin memilikinya segera. Sebab bulu-bulunya yang berwarna kuning emas dibagian kepala sampai leher, selalu berkilau di mata orang di waktu malam. Dan, tatapan matanya, setiap orang yang memandangnya seperti tatapan perempuan cantik yang kebingungan di dunia mencari pasangan hidupnya kembali.

Pada malam hari Putri Jenang memulai pencariannya, ia merangkak menyurusi jalan kecil yang membelah semak-semak jagung dekat puramahan warga desa Jenangger. Namun entah kemana ia akan mencari pangeran Banuaju itu, sebab seratus tahun bukan waktu yang pendek untuk memulihkan ingatannya tentang perjumpaan pertama kalinya dengan pangeran Banuaju.

Lalu di balik daun puncuk pohon aren yang menjulang itu, kesedihan mulai menimpa bulan dan Putri Jenang. Sebab cahayanya hampir susut ke dalam kabut tebal di langit barat sana. Membuat jalan kecil yang disusuri seekor kucing yang kebingungan itu remang seketika. Namun beruntunglah sewaktu ia sejenak behenti di jalan yang sudah bercabang itu, ada seekor kucing jantan sedang mengeong-ngeong tengah malam, mungkin ingin kawin atau memanggil kekasihya yang sedang memburu cicak di dinding-dinding rumah warga.

“Hai! Kucing manis, tampaknya kau kucing cantik yang pertama kalinya kutemui di sini.” Tiba mengeong kucing jantan itu, seakan marayu ketika melihat Putri Jenang sedang kebingungan memilih sepasang jalan kecil yang berbeda arah tersebut.

“Kau siapa? Jangan coba-coba merayuku,” kata Putri Jenang sambil melihat muka kucing jantan yang sedang menghampirinya. “namaku Bandu, kau tampaknya kucing asing yang berkeliaran di sini.” Ucap kucing jantan setelah beradu padang dengan Putri Jenang. “namaku Putri Jenang, seorang perempuan yang berwujud kucing setelah bangkit dari kematian yang sudah berusia seratus tahun.” Jawab Putri Jenang memperjelas asal-usul hidupnya yang kedua, seusai menjilati punggungnya yang merasa gatal.

“Hahaha! Humormu terlalu rendah Putri Jenang, untuk menakut-nakutiku malam ini, masak manusia mati hidup lagi dengan berwujud kucing? Ha! kau tahu, hidup hanya sekali susudah itu mati.” Tertawa kucing jantan dengan mengeong panjang, setelah mendengar perkataan Putri Jenang yang dianggapnya hanya lelucon kucing humoris yang ia baru temui.

“Iya sudah kalau gak percaya, kucing jantan! Aku pergi dulu mencari pangeran Banuaju: kekasihku yang katanya masih hidup di desa Jenangger ini,” ucap Putri Jenang mengakhir perbincangannya yang pertama di dunia, sambil berlalu dihadapan kucing jantan yang tiba mengangkat kedua alisnya itu. “Eh, eh! Tunggu dulu kucing cantik, kayaknya aku kenal kekasihmu, yang kau sebutkan tadi itu!” lari kucing jantan itu sebelum berkata, menghadang laju jalannya Putri Jenang ke ara barat itu. Seolah-olah kucing jantan itu merasa sangat kenal dengan pangeran Banuaju-dengan hati ada maksud lain dari semua sandiwara itu.

“Pangeran Banuaju maksudmu? Mana mungkin kau kenal dengan kekasihku, wong kamu sekadar kucing yang tak tahu menahu-nahu soal manusia. Atau paling kamu tahunya hanya mencuri ikan di dapur-dapur warga!” tiba berujar Putri Jenang dengan kesal dihadangan kucing jantan itu. “Iya, itu pangeran Banuaju! aku pernah dengar nama itu dari cerita tuan rumahku, yang secara tak sengaja ia berdongeng sekadar untuk menidurkan cucunya digendongannya pada larut malam. Dan, nama kekasihmu itu disebut-sebut dalam dongengnya, katanya sih! Yang aku ingat, pengeran Banuaju, iya kekasihmu yang kau cari itu telah mati, dan namanya dikeramatkan sebagai nama desa Banuaju, katanya sih sebagai kenang-kenangan.” Mengeong kucing jantan itu dengan bercerita, walau apa isi ceritnya benar, bahwa pengeran Banuaju telah mati. Namun cerita itu bukan dari tuannya, sebab ia hanya mendengar cerita kawannya sendiri sesama kucing itu.

“Tidak mungkin! Tidak mungkin kekasihku meninggalkan sendiri di dunia ini, jika dia mati, dimana kuburannya? Dan mati dimana dia?” bertanya Putri Jenang itu dengan suara bergetar dan gelisah, mendengar cerita kucing jantan yang sok tahu. “Maka ayo, ikut aku jika kamu masih tak percaya dengan apa yang aku ceritakan tadi perihal kekasihmu yang sudah mati itu.” mengeong kucing jantan disampingnya sambil mengajak Putri Jenang berjalan ke selatan dengan tersenyum. Namun pada akhirnya Putri Jenang pun terperangkap oleh ceritanya dan ikut merangkak di belakang kucing jantan tersebut.

—— *** ——-

Dua hari dua malam sudah Putri Jenang tinggal bersama kucing jantan itu, tidur bersama dan makan bersama di subuah rumah milik seorang nenek tua di desa Jenangger. Dan, lama kelamaan dalam anggapan Putri Jenang, kucing jantan itu sangat baik padanya. Sejak ia sampai ke rumah nenek tua itu, sedangkan kucing jantan sudah menganggapnya sebagai kekasihnya sendiri tanpa ia sadar.

Mulai dari memberinya kasur kusam sebagai tempat tidurnya, milik nenek tua yang sudah tak terpakai itu, sampai memberinya ikan segar saban pagi sebagai makanan paling lezat untuk seeokor kucing yang sudah masuk perangkap itu.

Pada suatu malam di bulan November yang tiba-tiba berhujan di rumah nenek tuanya. Tiba-tiba Putri Jenang bertanya pada kucing jantan-yang sedang duduk berdua di beranda rumah nenek itu, melihat keindahan jatuhnya hujan pertama yang mereka lihat di waktu malam. Sedangkan nenek tuanya hanya duduk di kursinya bersedekap dengan selimut tebal memandang hujan jatuh di malam hari.

“Kapan engkau membawaku ke keburan kekasihku? Jika memang pangeran Banuaju telah mati.” Tanya Putri Jenang dengan mata tetap menatap jatuhya air langit dengan suara membelah kebisingan hujan yang menabuh atap dari seng itu. “lupakanlah kekasihmu itu Kucing manis, anggaplah aku saja kekasihmu, haha!?” ujarnya kucing jantan tanpa menjawab pertanyaan Putri Jenang. Namun malah merayunya malam itu dengan kata-kata humornya yang membuat Putri Jenang tersenyum campur risih.

“Jaga mulutmu kucing jantan! Dalam hati dan ingatanku hanya ada pangeran Banuaju, bukan kau!” kata Putri Jenang dengan mengutarakan rasa cintanya masih melekat pada kekasihnya itu. “Haha! Kau semakin marah semakin manis saja, ya sudah, besok aku antar kalau kau masih tak percaya, kucing manis.” Jawab kucing jantan ingin mengabulkan permintanyaan itu-dengan kata-kata rayunya lagi, sambil tersenyum di malam dingin ketika hujan telah reda.

Kemudian meloncatlah Putri Jenang ke tanah yang sudah basah itu, berjalan menuju kasur kusam yang masih empuk tanpa mengeong apalagi mengajak kucing jantan yang masih berdiri di beranda itu. Setelah Putri Jenang benar-benar terlelap di tempat tidurnya, tiba kucing jantan berjalan menuju pembaringan kucing manis itu dengan mulut mengeong menjerit-jerit dengan putus-putus suaranya, membuat nenek tua yang duduk sambil tidur terpental bangun dengan seketika.

Sesampainya kucing jantan di dekat Putri Jenang yang terlelap dengan posisi tubuh tengkurap. Lalu tiba kucing jantan itu dengan penuh gairah tak tertahan langsung menyetubuhi Putri Jenang dengan menggigit leher belakang, sedangkan kedua kaki belakang mengangkang lebih lebar di atas pantat kucing manis itu. Sedangkan kedua kaki depan sebagai tangan memegang bahu Putri Jenang yang hanya mendesah dalam ketakutan.

Namun Sesungguhnya Putri Jenang terjaga namun tak mampu melawan ketika mengingat semua kebaikan kucing jantan. Pada akhirnya Putri Jenang dengan menghapus rindunya pada pangeran Banuaju senejak, ia pasrahkan keperawanannya sebagai balas budinya pada kebaikan kucing jantan yang memang sudah direncanakan sedari awal perjumpaannya di jalan semak jagung itu.

Sedangkan nenek tuanya hanya tersenyum di kursinya memandang persetubuhan kucing dengan seorang perempuan yang berwujud kucing manis tersebut.

——- *** ——–

Keesokan paginya Putri Jenang bangun dengan tubuh lesu berjalan dengan perasaan kabur dalam hatinya. Antara janji-janji yang diberikan kucing jantan dengan hidupnya sendiri yang berwujud kucing manis. Dalam pikirnya di perjalanan yang entah ke mana tujuannya itu, ia seakan sia-sia hidup kembali sebagai kucing hanya untuk mengatakan sesuatu pada kekasihnya yang sudah ia rindukan semenjak dalam kuburan.

Sementara kucing jantan bingung sendiri di tempat tidurnya Putri Jenang tadi malam itu, sekembalinya dari dapur tetangga mencuri kepala ikan untuk makan kekasih barunya, yang ia jinjing memakai mulutnya. Lalu ia cari diksekitar rumah nenek tuanya, mungkin saja jalan-jalan menikmati udara pagi. Namun setelah putar-putar disekitar rumah itu dengan sebungkus plastik kepala ikan masih tergantung di mulutnya, akhir ia cari sampai jauh entah ke mana, yang penting Putri Jenang ditemukan, pikirnya pada saat hatinya merasa kehilagan.

Sampai menjelang siang mereka berdua masih saling cari mencari: kucing jantan mencari keberadaan Putri Jenang, sedangkan Putri Jenang mencari Pangeran Banuaju yang katanya kucing jantan telah mati. Lalu di tengah perjalanan yang sudah ke luar dari batas desa Jenagger itu. Tiba-tiba Putri Jenang yang sedang berjalan mendengar percakapan orang-orang lewat di jalan raya dekat warung penjual lontong tersebut.

“Bhik Biye, mau di bawa ke mana kambing-kambingnya?” tanya penjual lontong itu pada orang yang sedang berjalan di depan warungnya dengan tangan sambli mengucek kacang di atas cobek. “Mau ngarit rumput Bhik, sambil mengembalakan kambing-kambing ke desa Banuaju!” Jawab orang itu sambil berjalan ke arah selatan.

Putri Jenang tiba tertegun lama di samping kiri jalan raya mendengar kata “Banuaju” dari seorang tua yang sedang menyembrang ke samping kanan jalan. Lalu ketika Putri Jenang sadar itu nama kekasihnya, langsung ia menyebrang ke selatan tanpa melihat ke kanan dan ke kiri mengejar orang yang telah jauh berjalan kaki itu.

Namun Putri Jenang bernasib malang sewaktu berlari ingin menyebrang, sebab tiba-tiba ada mobil bermuatan batu bata sedang melaju kencang melindas tubuh Putri Jenang yang tak mampu menghindar dari kejaran ban mobil itu.

Lalu setelah mobil itu menjauh tanpa berhenti menolongnya, terlihatlah pemandangan yang tak enak di lihat itu. Tubuh Putri Jenang menjadi pipih di jalan beraspal yang telah belumuran darah amis-sedangkan kepalanya remuk tak tersisa satupun yang utuh, semuanya terpisah ke mana mana menempel di atas lorong panas itu. Seperti permen karet yang menempel di balik celena: lengket dan mengering, susah untuk dicongkel.

———- *** ————

Jurang Ara, 2018
Norrahman Alif lahir di Jurang Ara, Sumenep Madura. Belajar menulis di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta ( LSKY ) dan untuk saat ini sebagai relawan Pustaka Bergerak Desa (PUSDES). Beberapa karyanya bisa dinikmati di: Media Indonesia, Tempo, Republika, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka dll.

Rate this article!
Putri Jenang,3 / 5 ( 2votes )
Tags: