Rekonsiliasi dalam Falsafah Jawa

Oleh :
Roikan S.Sos,MA
Asisten Peneliti di Center for Security and Welfare Studies/CSWS FISIP Universitas Airlangga

Tahun politik telah berlalu pasca ditetapkannya hasil Pilpres beserta hasil sengketanya. Mahkamah Konstitusi (MK) menuntaskan sengketa pilpres dengan menolak segala tuntutan dari paslon 02 dan kemenangan di tangan paslon 01. Presiden terpilih secara konstitusional telah ditetapkan. Panasnya suhu politik sedikit mereda dengan momen bersejarah sekaligus menyejukan. Pertemuan antara dua capres dalam pilpres 2019, Jokowi dan Prabowo yang selanjutnya saya sebut sebagai momen MRT sabtu (13/07/19). Inilah kabar perdamain selepas momen Joko Widodo (Jokowi) berpelukan dengan Prabowo Subianto di venue pencak silat Asian Games 2018 silam. Dua momen ini diharapkan dapat mengakhiri polarisasi dan konflik antara cebong dan kampret.
Persepsi diperoleh melalui indera yang menjadi alat untuk mengetahui realitas. Dalam realitas pasca pilpres persepsi dari masyarakat dan netizen beragam. Pro dan kontra dalam berpendapat adalah hal yang lumrah dalam berdemokrasi. Ada yang menganggap sebagai awal cipta rekonsiliasi setelah persaingan sengit dalam kompetesi pilpres. Ada yang menyayangkan. Ada pula yang menganggap sebagai pertemuan pencitraan karena sebelumnya tidak pernah ada ucapan selamat secara langsung dari pihak 02. Tidak sedikit pula yang mengungkapkan kekecewaannya bahkan menganggap momen MRT sebagai bentuk penghianatan. Ada pula kelompok yang bertekad berjuang pada jalur dan caranya sendiri. Semua adalah hak untuk mengungkapkan sikap asal pada koridor yang telah disepakati. Menjadi kawan atau lawan, koalisi atau oposisi adalah pilihan.
Aspek etis dalam berpolitik menyangkut perilaku atau tindakan politik. Tindakan dari elit dan seluruh partisipan kehidupan politik termasuk rakyat. Hal ini merepresentasikan kesadaran dan tanggung jawab sebagai bagian dari kehidupan bersama, berbangsa dan bernegara. Berbeda suara politik bukan berarti akan menjadi pembenci selamanya. Pertentangan dapat diekpresikan dalam berbagai pikiran dan tindakan yang saling berlawanan satu sama lain. Perbedaan pendapat dapat menjadi alat penyeimbang dan media mewujudkan keharmonisan. Pola perilaku tanpa melihat perbedaan dan keberagaman dapat menjadi penghambat menciptakan iklim politik yang sehat.
Rekonsiliasi adalah perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula; perbuatan menyelesaikan perbedaan (KBBI). Sebagai sebuah kata sebagai bagian dari bahawa yang mempunyai dampak sosial budaya secara nyata dalam pemahaman dan perbuatan. Rekonsiliasi sebagai jembatan perdamaian pasca tahun politik tidak akan terwujud tanpa rekognisi. Rekognisi sulit terjadi jika masih ada prasangka dan antipati terhadap kelompok lain yang berbeda pandangan politik. Permasalahan yang terjadi selepas keputusan akhir penetapan KPU sampai berakhir di MK adalah ada kelompok yang tidak mengakui dan tidak mau mengakui. Pesta demokrasi lima tahunan dimaknai sebagai ajang untuk mengedepankan ego kelompok dan tidak ingin menganggap pihak lain. Seharusnya masyarakat pemilih harus mempercayai persepsi, memori dan nalar dalam mengapresiasi suatu fenomena. Termasuk hasil final pilpres.
Asih Ing Sesami
Falsafah adilihung Jawa mengajarkan karakteristik dari kebudayaan Jawa adalah religius, non doktriner, toleran, akomodatif dan optimistik. Dalam sebuah pertentangan yang didasari perbedaan pandangan selalu menekankan pada aspek akomodatif melalui ungkapan asih ing sesami. Sebuah kesadaran universal yang bersumber pada kesadaran yang paling dalam dari hati nurani manusia. Kesadaran untuk saling menghargai ini diwujudkan dalam sikap hidup orang Jawa yang rilo, narimo, temen, sabar, dan budi luhur. Menjaga keselarasan secara konsisten dan komitmen tinggi dapat menjadi salah satu cara untuk meredam gejolak akar rumput pasca pilpres.
Menerima dan mengawal pemerintahan menjadi hal yang mutlak dilakukan sebagai bagian dari rekonsiliasi. Jika ingin menjadi oposisi jadilah oposisi yang sehat dan sesuai konstitutif. Justru hal ini dapat menjadi bagian penyeimbang dan pengevaluasi jalannya pemerintahan lima tahun kedepan. Keberimbangan antara pemerintah dengan pihak oposisi demi kemajuan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketidakpuasan perlu diakomodir menjadi langkah penyeimbang yang konstruktif dan mendukung visi misi bangsa ke depan. Tantangan bangsa sebagaimana pidato Jokowi (14/07/19) adalah kehidupan lingkungan global sangat dinamis, penuh resiko dan kompleksitas.. Hal ini membutuhkan kebersamaan untuk berbuat, bertindak dalam mengatasi permasalahan dan hambatan yang terjadi.
Pada tataran pasca pilpres masih ada pihak yang bersungut-sungut. Rekonsiliasi level akar rumput perlu memperhatikan aspek ideologis dan normatif. Basis ideologis dapat disadarkan melalui oposisi. Basis normatif diubah melalui perubahan pandangan dan pola perilaku tanpa terpolarisasi. Mengikuti pola resolusi yang dirumuskan oleh budayawan Cak Nun bahwa butuh inisiatif dan keberanian diri demi kepentingan bersama. Selanjutnya diperlukan pengalaman dan kematangan pribadi seseorang. Kemampuan mengidentifikasi akar permasalahan dan mencari solusi alternatif yang dipengaruhi oleh kedewasaan berpikir. Semua bertumpu pada visi mengutamakan perdamaian dan persaudaraan di atas kepentingan golongan. Bukankah berdampingan dengan damai dan selalu mengingatkan secara bijak itu indah? Kita harus optimis menatap masa depan.

——– *** ——–

Rate this article!
Tags: