“Relaksasi” Lalulintas

Niat pemerintah melonggarkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) telah direspons masyarakat, terutama kalangan dakwah keagamaan. Beberapa masjid telah menggelar shalat Jumat, dan shalat tarawih berjamaah. Pengurus masjid bekerjasama dengan Pemda setempat untuk menyediakan bilik semprot, hand-sanitizer, serta masker. Seluruh protokol kerumunan orang (banyak) dipenuhi secar ketat, dengan penjarangan jarak shaf antar-orang.
Selain “ke-lega-an” spiritual, kelonggaran juga bisa menyambung keakraban sosial. Selama ini dengan peradigma pewabahan CoViD-19, orang tanpa gejala (OTG) juga patut dicurigai. Lebih lagi, jamaah shalat yang bersin (dan batuk), bisa tidak menenangkan jamaah lain. Selama 8 pekan (sejak pertengaha Maret 2020) masyarakat keagamaan telah mematuhi protokol PSBB. Terutama di Jakarta. Termasuk umat Budha tidak menyelenggarakan perayaan Waisak pada 7 Mei lalu.
Berdasar kajian kitab fiqih, bahwa menghindari wabah lebih utama dibanding shalat berjamaah di masjid. Prioritas menghindari wabah, dimaksudkan sebagai mempertahankan diri dalam keadaan tetap sehat, dan kuat untuk melaksanakan ibadah. Berdasar ajaran agama (Islam) terdapat ibadah yang lebih penting (strategis) dibanding shalat berjamaah di masjid. Misalnya, menunaikan nafkah, dan melindungi keluarga. Serta mempertahankan keselamatan diri (keluarga, dan lingkungan).
Agama mengajarkan, bahwa negara bertanggungjawab atas keselamatan rakyat. Serta seluruh rakyat wajib mengikuti arahan negara pada masa genting pe-wabah-an penyakit. Tanggungjawab negara dinyatakan secara tekstual dalam konstitusi Republik Indonesia. Pembukaan UUD pada alenia ke-empat, menyatakan, “ … membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum… .”
PSBB, bukan kondisi yang membahagiakan. Bahkan banyak yang menjadi “korban.” Kehilangan mata nafkah, kehilangan pekerjaan, sampai kehilangan karir, efek wabah pandemi CoViD-19. Lebih dari 3 juta orang telah kehilanga pekerjaan di sektor formal (industri), dan sektor informal (usaha mikro dan kecil). Lebih lagi PSBB yang tidak cukup hanya dengan 14 hari, harus disambung dengan 2×14 hari lagi. Bisa menumbuhkan ketiak pastian, ketakutan (dan kecemasan) sosial dan perekonomian.
Industri bernilai strategis masih harus berjalan memenuhi kontrak ekspor. Terutama, industri otomotif, perhubungan, energi, dan telekomonukasi. Bahkan industri strategis juga termasuk industr kreatif yang memiliki nilai ke-ekonomi-an sangat tinggi (lebih dari Rp seribu trilyun) per-tahun. Antaralain, produksi hasil tembakau. Tetapi seluruh (8) sektor yang masih berjalan wajib mematuhi protokol wabah CoViD-19.
Berdasar data BPS (Badan pusat Stattistik) surplus perdagangan pada triwulan pertama tercatat US$ 2,62 milyar. Sektor non-migas mencatat kenaikan ekspor sebesar US$ 5,66 milyar. Sedangkan ekspor migas defisit US$ 3,04 juta. Karena pemerintah sedang menggenjot cadangan minyak nasional pada saat harga minyak dunia turun tajam. Cadangan minyak akan menjadi primadona lagi manakala PSBB telah berakhir. Begitu pula lockdown di beberapa negara telah dibuka kembali.
Pelonggaran PSBB bagai menjai “ventilasi” perekonomian nasional. Kontraksi ekonomi diperlukan sebagai mengambul berkah yang tersisa. Terutama pada bulan Ramadhan, yang sejak berabad-abad dikenal sebagai puncak belanja nasional. Termasuk lalulintas penumpang di bandara, terminal, dan pelabuhan. Walau tidak mudah bepergian, karena wajib membawa surat keterangan sehat dari Puskesmas setempat. Juga masih wajib rapid test dan tes PCR (Polymerase Chain Reaction).
Semula, sebanyak 34 bandara yang dibawahkan PT Angkasa Pura (AP) I, dan AP II, dan pelabuhan laut tidak melayani penerbangan umum komersial (penumpang). Kini PSBB yang dilonggarkan memberi status “tugas” khusus angkutan penumpang. Tetapi mudik (dengan ciri khas bawaan barang) tetap dilarang.
——— 000 ———

Rate this article!
Tags: