Rencana Tambah Pagu di Tengah Pandemi, SMP Swasta Minta Kaji Ulang

Ketua Dewan Pendidikan Kota Surabaya, Martadi

Terkait Rencana Dindik Kota Surabaya Tambah Pagu hingga 42 Siswa
Surabaya, Bhirawa
Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (SMP) swasta keluhkan kebijakan Dinas Pendidikan (Dindik) Kota Surabaya yang mengusulkan penambahan jumlah pagu, dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2020 hingga 42 orang. Persoalan serupa juga terjadi dalam PPDB tahun lalu.
Ketua MKKS SMP Swasta wilayah Surabaya Timur, Wiwik Wahyuningsih mengungkapkan, Dindik Kota Surabaya beralasan penambahan jumlah pagu dalam PPDB tahun ini karena adanya pandemi. Sehingga banyak calon wali murid yang masuk data Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Karena itu kuota di jalur afirmasi akan ditambahkan.
“Dari adanya pandemi ini, katanya masyarakat MBR bertambah 5 ribu sekian. Tapi kalau semua nya diambil dan tidak mengurangi kuota yang lain, terus gimana sekolah swasta ini? Sekolah swasta tidak menutup mata untuk keluarga yang tidak mampu. Kami juga mempunyai kuota khusus bagi mereka. Adanya pandemi tidak melulu dilihat dari masyarakat tidak mampu harus di sekolahkan di negeri,” urainya dikonfirmasi Bhirawa, Rabu (10/6).
Sekalipun sebaran jumlah pagu akan dilakukan secara berimbang oleh Dindik Kota, menurut Wiwik, namun juga harus melihat jumlah satuan pendidikan antara negeri dan swasta.
“Kalau dilihat dari jumlah lulusan SD diperkirakan 45 ribu diambil 22 ribu untuk negeri dan 23 ribu di swasta ini berimbang menurut beliau. Tapi harus dilihat kembali. Jumlah sekolah negeri ada 63, sedangkan swasta ada 260 lebih sekolah. Berapa siswa lulusan SD yang mondok ini juga harus dipikirkan,” papar dia.
Jika berkaca pada PPDB tahun tahun lalu, SMP swasta hanya mendapat 13 ribu siswa. Alhasil, setidaknya ada 5 hingga 10 sekolah swasta yang harus tutup karena tak mendapatkan siswa. Dikatakan perempuan yang juga menjabat sebagai Kepala SMP 17 Agustus 1945 Surabaya ini, saat sekolah swasta tengah mempersiapkan diri untuk menjadi sekolah yang tangguh dalam menghadapi pandemi. Artinya penerapan protokol kesehatan akan diterapkan secara ketat di lingkungan sekolah.
“Tapi kalau jumlah siswanya 42 dalam satu kelas bagaimana dengan (penerapan) protokol kesehatannya, bagaimana physical distancing diterapkan di sekolah negeri. Ini kan tidak bisa, sekalipun alasannya karena pandemi? Saya masih berharap Kadindik Surabaya memahami kondisi sekolah swasta sekaligus fenomena Covid-19 saat ini,” tuturnya.
Sehingga Wiwik meminta agar Dindik Kota Surabaya dan Pemkot Surabaya mengkaji kembali aturan pagu dalam PPDB tahun ini. Pihaknya juga menekankan agar pemerintah bisa mentaati aturan jumlah pagu.
“Kalau seruang 32 ya 32. Kalau tetap dilakukan, kasusnya akan sama seperti tahun lalu. Karena melanggar jumlah pagu dalam Permendikbud. Ini lagu lama yang kemudian akan diajukan ke Kemdikbud,” kata dia.
Hal serupa juga diungkapkan Ketua MKKS SMP Swasta Surabaya, Erwin Darmogo. Dari hasil rapat yang dilakukan bersama Kepala Dindik Kota Surabaya, Supomo bahwa jalur afirmasi tidak sepenuhnya di tampung di sekolah negeri. Sebab, sekolah swasta juga berkomitmen memperhatikan mitra warga.
“Kalau swasta menerima 10 anak, dan masih ada yang belum tertampung maka diberikan,” tambah dia.
Erwin juga menambahkan, untuk Rombel (Rombongan Belajar), pihak Dindik Kota Surabaya sudah berkomitmen untuk tidak menambah. Yakni 32 siswa per Rombel dalam jalur PPDB. Sehingga, jika akan menambah 42 siswa, nantinya 10 kursi akan diisi oleh jalur afirmasi atau jalur mitra warga.
“Jadi yang masuk di (SMP) swasta nanti selain afirmasi. Intinya jalur afirmasi harus lebih banyak di sekolah negeri, dan dibuka sebesar-besarnya. Jadi swasta bisa mendapat lebih banyak siswa reguler. Tapi swasta juga menampung siswa afirmasi yang didanai Pemkot melalui dana CSR,” pungkasnya.

Lebih Baik Tambah Rombel dengan Jumlah Siswa Ideal
Rencana penambahan pagu dalam PPDB tahun 2020 karena pandemi juga disoroti Ketua Dewan Pendidikan Kota Surabaya, Martadi. Menurutnya, dalam kondisi normal atau sebelum pandemi Covid-19 terjadi, jumlah pagu 42 siswa mungkin bisa dijalankan. Tetapi dengan kondisi saat ini, yakni berjarak antar siswa dalam kelas, hal itu tak dapat dijalankan.
Karena jika ideal satu kelas berjarak 1 meter hingga 2 meter maka bisa menampung siswa hingga 24 anak. Sementara jika jumlah terlalu besar dan harus menggunakan protokol kesehatan Covid-19, dikhawatirkan sekolah akan kesulitan dalam mengatur jarak.
“Jadi menurut saya ini perlu dipertimbangkan kembali. Kalau saya lebih baik menambah jumlah Rombel daripada menambah jumlah pagu. Kalau kemarin jumlahnya enam sekarang ditambah menjadi tujuh Rombel atau delapan Rombel tapi jumlah anaknya ideal. Kalau yang ditambah pagunya pasti akan berdampak pada pengaturan jarak yang sulit dan pengaturan manejemen kelas oleh guru,” papar Martadi.
Martadi menambahkan, jika jumlah Rombel maksimal untuk jenjang SMP 33, maka hal itu tidak melanggar. Namun jika lebih dari jumlah itu, harus mengajukan izin khusus ke Kemdikbud. Artinya harus membuat surat permintaan khusus dengan pertimbangan tertentu untuk membuka kelas.
“Sehingga kalau tidak ingin disebut melanggar harus diizinkan dulu oleh Kemdikbud,” tegasnya.
Jika hal itu tetap dilakukan, atau dengan jumlah per Rombelnya lebih dari 33 siswa atau mencapai 42 siswa per rombel, hal itu akan berdampak signifikan tak hanya pada pengurangan jatah siswa untuk sekolah swasta. Melainkan juga pada berdampak pada kualitas pelayanan sekolah negeri.
“Pada kelas yang jumlah siswanya lebih banyak, maka guru akan lebih ekstra keras untuk melakukan manajemem kelas, mengatur murid dan mengenali karakter anak ini akan sedikit lebih berat dibanding dengan jumlah tertentu. Ujungnya pada kualitas pembelajaran. Artinya harus dikoreksi kembali untuk kebijakan penambahan jumlah pagu. Karena yang agak krusial kan jarak antar anak harus diatur. Kalau dengan jumlah anak yang lebih berjarak satu meter belum tentu terpenuhi. Saya khawatir ini akan memicu kluster lagi,” pungkasnya. [ina]

Tags: