Resesi Tak Perlu Panik, Bukan Salah Kebijakan, Tapi Akibat Pandemi Covid-19

Jakarta, Bhirawa.
Senior ekonomi Pieter Abdullah mengatakan, Indonesia saat ini secara teknikal sudah resesi. Karena secara definisi yng disebut resesi yakni apabila pertumbuhan ekonomi negatif (minus) dalam 2 triwulan ber turut-turut.Namun secara tahun ke tahun, Indonesia memang belum resesi.

“Secara kuartal, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2020, negatif 4,19%. Artinya secara teknikal Indonesia sudah resesi,” papar Pieter Abdullah dalam dialektika demokrasi ber tema “Ancaman Resesi Ekonomi dan Solusinya” Kamis sore (6/8). Nara sumber lainnya, Ketua Badan Anggaran DPR RI dari PDIP Said Abdullah, anggota Komisi XI dari Golkar, Moh.Misbakhun, anggota Komisi XI dari PKS Ecky Awal Muharam.

Pieter Abdullah yang Direktur CORE (Center of Reform on Economics) Indonesia, lebih jauh berujar;  Pada triwulan satu, Indonesia masih positif. Hitungan tahun ke tahun, berarti pertumbuhan ekonomi di triwulan satu tahun 2019 masih positif. Kemudian baru negatif pada triwulan dua tahun 2020. Dibanding triwulan dua 2019, pertumbuhan ekonominya quarter to quarter. Berarti quarter satu dibandingkan quarter empat 2019, ternyata sudah negatif.

Seperti diketahui, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada kuartal II 2020 ini, terkontraksi hingga 5,32%. Dikhawatirkan, Indonesia bisa mengarah ke resesi. Sebab pada kuartal II-2020, ekonomi Indonesia minus 5,32% dibandingkan posisi yang sama pada tahun 2019 lalu. 

Menurut Pieter, resesi sekarang ini adalah sebuah kenormalan baru (New Normal). Semua negara akan mengalami resesi. Apakah resesi teknikal atau resesi secara official. Banyak negara telah mengalami resesi secara official, karena triwulan pertama dan triwulan kedua, sudah mengalami pertumbuhan ekonomi negatif. Misalnya Singapura dan Korsel lalu AS.

“Sebuah kenormalan baru tidak terelakkan lagi. Semua negara akan mengalami resesi di tengah wabah Covid-19 ini. Resesi kali ini bukan disebabkan oleh kesalahan kebijakan, tapi akibat wabah. Jadi kita tidak perlu panik,” tandas Pieter Abdullah.
     Misbakhun menyarankan agar pemerintah membuat program yang terarah, fokus dan menjadi alat navigasi untuk mengatasi masalah. Dia melihat, ada kesenjangan antara program PEN dengan realitas permasalahan. Sehingga sering tidak nyambung. Diambil contoh program korporasi Rp53 triliun itu tidak sepenuhnya untuk BUMN, tapi dinamakan korporasi. 

Dia mempertanyakan, penyelamatan korporasi swasta yng selama ini menjadi salah satu pendorong, itu tidak ada. Dana penempatan yang dilakukan pemerintah, dilakukan bank. Jadi pada situasi seperti ini, Negara berpikir untuk menyelamat kan apa? Menyelamatkan BUMN yang terkait dengan sektor riil dan menyelamatkan BUMN yng terkait dengan sektor keuangan, kah?

“Jadi pada situasi seperti ini, negara berpikir untuk menyelamatkan apa ? Menyelamatkan BUMN yang terkait dengan faktor riil dan Menyelamatkan BUMN yang berkaitan dengan sektor keuangan ?,” ucap Mibackun. (ira)

Tags: