Riwayat Markesot Mengkritik

Judul Buku  : Markesot Bertutur Lagi
Penulis          : Emha Ainun Najib
Penerbit       : Mizan
Tahun           : 2013
Tebal            : 343 halaman
ISBN          : 978-979-433-763-9
Peresensi  : Muhammad Bagus Irawan
Pustakawan IAIN Walisongo

Markesot adalah tokoh rekaan Emha Ainun Najib yang memiliki kepekaan sosial, keteguhan memegang prinsip, dan daya pikir yang kritis. Cerita Markesot ditulis mingguan di koran Surabaya Post menjawab segala problematika yang muncul di negeri ini. Tokoh Markesot sendiri, kadangkala hadir mewakili penulis, namun bisa juga mewujud orang lain yang punya adab kritik yang nyeleneh. Hampir segala masalah dikritik, diresapi, direnungi, dan disimpulkan oleh Markesot. Namun begitu, seperti diakui penulis, representasi Markesot hanyalah sedikiti eksperimentasi guna memperingatkan sisi humanis tetap bisa dipertahankan oleh bangsa ini. Meskipun tulisan Markesot hadir dua dasawarsa lalu, namun kritiknya masih relevan, terutama pesan yang diusungnya guna memerbaiki akhlak bangsa-yang kadung hanyut ditelan nafsu global.
Buku setebal 343 halaman yang berjudul Markesot Bertutur Lagi ini adalah kelanjutan dari buku Markesot sebelumnya. Kali ini Markesot akan bertutur tentang kesunyian, hakikat hidup, keterbukaan, harapan masyarakat, jabatan, janji pemilu, calon petinggi, masyarakat bawah, dan masa depan. Sembilan bagian itu masing-masing berisi tujuh sampai sepuluh judul esai yang menggelitik pembaca dengan banyolan bertaji yang kerap mengundang gelak tawa. Dengan gaya penulisan yang santai dan sederhana, kadang diselingi celetukan, bahasa, dan guritan Jawa, buku ini layak dibaca siapapun.
Ambil contoh dari bagian kesunyian ada tajuk Markesot nglungsungi, dalam arti memerbaiki diri. Kala itu adalah momentum Idhul Fitri, orang-orang sibuk merayakan dengan saling kunjung sanak saudara, namun yang dilakukan Markesot malah mengurung diri di dalam kamarnya tiga hari tiga malam. Orang-orang pun bergunjing, entah apa yang dilakukan Markesot, hingga hari keempat keluarlah Markesot dengan wajah dan pakaian lamanya. Ia pun mendapat pertanyaan bertubi-tubi; lantas dijawab dengan entengnya: “saya nglungsungi, sakit sekali rasanya. Saya mencoba memfitrikan diri. Mencoba menjadi wajar kembali. Menjadi alamiah kembali. Mewajarkan diri, keinginan, kebutuhan, konsumsi, sikap hidup, dan apa saja.” Ya, soalnya tradisi hari raya Idhul Fitri yang dilakoni masyarakat dianggap aneh, ada pesta huru-hara, beli segala sesuatu yang baru, makan segala sesuatu, dan bersenang-senang. Bagi Markesot itu adalah bentuk pelepasan nafsu yang seharusnya tidak terjadi di hari penghitungan statistik dosa dan pahala (17-21).
Lain lagi dalam bagian keterbukaan, Markesot bicara tentang ‘Pers dan Sihir’. Markesot bermonolog bahwa media massa memiliki perang yang luar biasa dalam menggiring opini masyarakat. Lantas bagaimana jika media berada di tangan kelompok tertentu yang menggenggam kepentingan politik, ideologi, bahkan kehendak kapitalismenya? Yang terjadi adalah: pertama, karena kepentingan kapitalisasi berita, terjadi ketimpangan objektivitas atas keutuhan dunia manusia. Kedua, garis politik dan ideologi yang melatarbelakangi perusahaan beriita menentukan warna dan cara mereka menilai persoalan. Dahsyatnya kekuatan media massa atas pembentukan watak masyarakat itu ibarat sihir. “Dan kalau Anda tersihir, Anda pasti tidak tahu dan tidak sadar bahwa Anda tersihir”(hlm. 118-122). Perenungan ihwal media ini tentu mengingatkan pembaca pada perang media yang berlangsung sengit dalam percaturan menyongsong pemilu 2014.
Selanjutnya, pada bagian hakikat hidup ada judul ‘Aduh Senangnya Pengantin Baru…’ yang berpesan tentang faidah kematian. Bahwa kematian akan menghampiri setiap manusia, sudah bagian dari takdir Tuhan. “Kalau ada orang meninggal, kita mungkin secara kultural terbiasa menunjukkan rasa berduka sebagai rasa solidaritas sosial kepada almarhum.” Namun kadangkala ada yang mensyukuri seseorang meninggal, karena kelakuannya jahat. Di saat yang lain menyesali kenapa yang meninggal orang baik. Tulisan ini diperuntukkan mengenang kepergian H. Muhammad Zein, pendiri pesantren musik sekaligus pemimpin grup Nasyida Ria. Baginya, Pak Zein adalah pelopor kebudayaan islam nusantara, tatkala kebanyakan orang islam sibuk mendiskusikan label halal atau mengharam-haramkan kelompok lain (hlm. 57-59). Riwayat Markesot mengkritik adalah nasihat dan teguran atas kesemrawutan yang ada di negeri ini.

Rate this article!
Tags: