Sastra, Menggairahkan Pembelajaran di Saat Pandemi

Oleh :
Ardi Wina Saputra
Dosen Universitas Katolik Widya Mandala Madiun

Sastra menempati posisi penting dalam pemajuan budaya dan karakter bangsa. Begitulah yang dikatakan oleh Menteri Pendidikan Nadiem Anwar Makariem ketika melakukan peluncuran Podcast Sandiwara Sastra pada Juli 2020. Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia memang mulai menjadi sorotan pada masa pandemi. Tepatnya pada bulan April 2020, Nadiem juga memperingatkan guru bahasa Indonesia agar tidak terjebak pada aspek gramatika melainkan mulai merambah pada pengungkapan makna. Sastra erat kaitanya dengan makna. Makna mampu memengaruhi pola pikir manusia.

Salah satu faktor utama agar terhindar dari virus corona adalah imunitas. Pola pikir yang sehat akan memperkuat imunitas. Ada istilah bahwa hati yang gembira adalah obat yang manjur. Hati yang gembira merupakan ungkapan untuk pola pikir positif. Sastra mampu mengarahkan manusia pada pola pikir positif.

Austin Warren dan Rene Wellek, dua tokoh teori sastra mengatakan bahwa tujuan sastra adalah mendidik dan menghibur (dulce et utile). Ketika mempelajari karya sastra, maka pebelajar akan terhibur karena larut pada cerita sekaligus terdidik karena pesan yang disampaikan. Model belajar seperti inilah yang cocok diterapkan ketika manusia dilanda pandemi virus corona.

Pada dasarnya, sejarah telah membuktikan bahwa karya sastra monumental dilahirkan ketika manusia mengalami peristiwa yang tidak mudah. Sastrawan Umar Junus pernah membuat buku bertajuk Dari Peristiwa ke Imajinasi. Dalam buku tersebut, Umar Junus mengatakan bahwa peristiwa dapat menjadi pelecut untuk berimajinasi. Pendapat Umar Junus ini dibesarkan oleh Prof. Djoko Saryono, melalui penelitianya bertajuk Wabah dalam Teks Sastra, Prof Djoko menemukan banyaknya karya sastra yang lahir ketika pandemi. Contohnya Iliad karya Homer, naskah lakon Oedipus Rex karya Sopochles, The Mosque of the Red Death karya Edgar Allan Poe, novel Le Peste (Sampar) karya Albert Camus, novel Love in The Time of Cholera karya Gabriel Gracia Marquez, dan masih banyak lagi. Selain itu, sastra Indonesia pun juga banyak yang bertema tentang wabah.

Mulai dari cerita rakyat Calon Arang, Babhad Bedhah ing Ngayogyokarta karya Aryo Panular, puisi Sodom dan Gomora karya Subagio Sastrowardoyo, Balada Nabi Luth AS karya Taufiq Ismail, Apakah Kristus Pernah? Karya Darmanto Jatman. Ada juga cerpen Malam Wabah karya Sapardi Djoko Damono, Lampor karya Joni Ariadinata, Wabah karya Jujur Prananto, novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, hingga Aruna dan Lidahnya karya Laksmi Pamuntjak, dan masih banyak lagi. Menurut Prof Djoko, karya-karya tersebut lahir karena proses sensibilitas, sensitivitas, dan responsibilitas yang dimiliki oleh pengarangnya. Lantas, bagaimana cara menanamkan sensibilitas, sensitivitas, dan responsibilitas pada generasi muda?

Membelajarkan Sastra

Belajar sastra ketika pandemi, tak dapat dilepaskan dari sensibilitas, sensitivitas, dan responsibilitas. Sensibilitas merupakan kemampuan menangkap peristiwa dari luar. Kemudian sensitivitas adalah kecepatan merespons peristiwa tersebut, dan responsibilitas adalah aksi nyata untuk mewujudnyatakan dua proses sebelumnya. Aksi nyata ini dapat berupa karya sastra yang dihasilkan. Ketiga proses ini sesungguhnya bermuara pada pembentukan rasa empati untuk peduli terhadap sesama ketika pandemi. Tiga proses tersebut dapat ditanamkan sejak pendidikan dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi melalui proses pembelajaran sastra.

Pada pendidikan dasar, anak diajak untuk menyukai sastra. Kebijakan merdeka belajar dan fleksibilitas capaian pembelajaran membuat guru dapat berinovasi dan melakukan terobosan untuk melakukan beragam proses pengenalan sastra pada anak-anak. Salah satu caranya adalah anak diminta untuk memilih bahan bacaanya sendiri. Anak diminta untuk memilih cerita yang dia suka atau puisi yang dia suka. Kemudian, anak diminta untuk menuliskan kembali kalimat yang membuatnya tertarik pada cerita atau puisi yang telah dipilihnya. Lalu dihias, dan difoto untuk ditunjukkan pada teman-temanya. Pengembangan dari pembelajaran ini dapat dilakuan dengan cara meminta anak untuk menceritakan kembali cerita yang dia suka lalu divideokan dan diunggah agar dapat dilihat oleh teman-teman bahkan masyarakat umum. Cara ini membantu anak untuk percaya diri ketika berkenalan dengan sastra.

Pada pendidikan menengah, mereka sudah bukan lagi anak-anak melainkan remaja. Para remaja yang memiliki banyak energi ini diajak untuk mengenali unsur ekstrinsik karya sastra secara menyenangkan. Mereka diminta untuk menceritakan kisah hidup penulis favorit mereka, karya yang dihasilkan penulis tersebut, hingga kondisi sosial budayanya. Usia remaja sangat dekat dengan gawai dan teknologi. Mereka diminta untuk mengemas sajian mereka melalui beragam jenis tampilan dan mengumpulkan dengan cara mengunggahnya di media sosial. Ketika mengunggah di media sosial, mereka memliliki tanggung jawab moral untuk mencontoh kelakukan baik sastrawan yang dibanggakanya. Cara ini juga sekaligus wujud nyata praktik memanfaatkan gawai secara positif.

Pada jenjang pendidikan tinggi, levelnya harus lebih menantang. Pebelajar sudah diarahkan untuk memproduksi karya sastra. Meskipun pada pendidikan dasar dan menengah, tidak menutup kemungkinan bagi pebelajar untuk membuat karya sastra. Namun pada pendidikan tinggi, karya yang dibuat harusnya lebih serius dengan teknik-teknik yang diadaptasi sedemikian rupa. Misalnya ketika membuat puisi, mahasiswa tidak lagi sekedar mendeskripsikan atau mematofarakan objek penulisanya tapi sudah pada tataran menyusun kata-kata yang mampu memiliki daya ledak ketika dibaca. Jika mahasiswa belum terarik untuk membuat novel, puisi atau cerpen, tapi tertarik pada pembacaan sastra, maka pembacaanya pun juga harus lebih serius. Contohnya adalah membongkar makna yang tersembunyi di balik teks hingga menciptakan kritik sastra. Tantangan demikian akan membuat mahasiswa merasa seru ketika belajar sastra.

Pembelajaran sastra bukan hanya menjadi tanggung jawab mata pelajaran dan mata kuliah Bahasa Indonesia saja, melainkan dapat dimasukkan ke berbagai lintas disiplin ilmu. Ketika kita menengok sejarah, Bapak Bangsa Indonesia, Ir.Soekarno dan Moh. Hatta adalah pebelajar sastra yang tekun. Melalui sastra, seorang insinyur teknik mampu menggetarkan hati rakyat untuk merdeka melalui pidatonya. Melalui sastra, seorang ekonom mencetuskan sistem ekonomi kerakyatan dan koperasi. Itulah bukti bahwa sastra memberikan gairah untuk memanusiakan manusia. Gairah tersebut sangat dibutuhkan, terlebih ketika dilanda virus corona.

————- *** ————–

Tags: