Sejarah Madiun bukan Sekadar Komunisme

Judul : Madiun dalam Kemelut Sejarah: Priayi dan Petani di Keresidenan Madiun Abad XIX
Penulis : Ong Hok Ham
Penerjemah : Oni Suryaman
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : Pertama, November 2018
Tebal : l + 374 halaman
ISBN : 978-602-481-060-0
Peresensi : Ridwan Nurochman

Ong Hok Ham adalah seorang sejarawan sekaligus cendikiawan yang piawai dalam memandang setiap peristiwa yang menjadi pembahasannya dan memiliki kepekaan terhadap denyut kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya masyarakat. Uraiannya selalu berkaitan mengenai peran dan sosok jago, jawara, atau Ratu Adil dalam sejarah Indonesia pada periode Kolonialisme Belanda. Ong Hok Ham selalu mengangkat tema psikologi populer rakyat petani di pedesaan Jawa dalam menghadapi eksploitasi Kolonialisme Belanda. Tulisan-tulisannya selalu berkaitan dengan petani, kaum priayi dan kolonial.
Kolonialisme merupakan aspek yang menarik perhatian Ong Hok Hak sejak muda. Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya 3 (Jakarta Gramedia Pustaka, 1996) selain Sartono Kartodirdjo, Ong Hok Ham merupakan ahli pertama yang mempelajari dengan sungguh-sungguh sejarah pemberontakan agraris di Indonesia. Buku Madiun dalam Kemelut Sejarah: Priayi dan Petani di Keresidenan Madiun Abad XIX menjadi bukti. Buku ini bisa menjadi pembanding kuat mahakarya Sartono Kartodirdjo dengan buku Pemberontakan Petani di Banten.
Kehadiran buku Madiun dalam Kemelut Sejarah tersebut begitu penting sebagai sumber sejarah Indonesia. Buku yang aslinya merupakan disertasi Ong Hok Ham untuk Jurusan Sejarah Universitas Yale (1968-1975) ini memiliki makna mendalam. Bahkan bisa menjadi bantahan kuat atas semua anggapan kita yang salah tentang sejarah Madiun yang selalu dikaitkan dengan komunisme.
Selama ini ingatan sejarah kita tentang Madiun hanya terpatri pada peristiwa pemberontakan PKI September 1948 yang dipimpin oleh Musso. Sebagimana yang dikemukakan oleh Peter Carey dalam prolog buku ini, bahwa disertasi yang kemudian diterbitkan menjadi buku ini diharapkan mampu menghapus dan membebaskan stigma orang Madiun dari “trauma” panjang yang mereka alami gara-gara pemberontakan PKI September 1948 yang dipimpin Musso tersebut. Padahal Musso sendiri bukan orang asli Madiun, melainkan dari Pagu, Kediri. Menurut Peter Carey, ini merupakan historiografi “abal-abal” seolah sejarah Madiun terpatri hanya pada kejadian tersebut dan tidak punya before and after. Nahas bagi orang Madiun. Akibatnya warga Madiun dicap sebagai “komunis abadi”. Ini jelas nonsense. Kita tahu bahwa sejarah Madiun sangat majemuk dan punya akar yang panjang.
Seperti pada era Perang Giyanti (1746-1755), wilayah Madiun sudah memberikan dukungan amat penting bagi Sultan Mangkubumi (bertahta 1749-1792). Dukungan ini berasal dari sosok Kiai Tumenggung Wirosentiko (sekitar 1720-1784), jawara Sukowati, yang menjadi paling setia. Setelah berdirinya Yogya, sang jawara Sukowati diangkat sebagai Bupati Wedana Madiun dengan gelar Raden Ronggo Prawirodirdjo I (menjabat 1760-1784). Bahkan dijanjikan Sultan Yogya akan menyayangi keturunannya selamanya. Namun, sayang janji tersebut diingkari oleh sultan kedua.
Buku ini berfokus pada sistem perpajakan pada abad ke-19 di daerah Keresidenan Madiun. Buku ini memiliki lima bab dalam pembahasannya dan disusun secara tematis. Pada pertama adalah pengantar umum yang menjelaskan berbagai unsur masyarakat tradisional Jawa sebelum kehadirian kolonial Belanda, kemudian sebuah penjelasan tentang perkembangan awal di Keresidenan Madiun saat kolonialisme Belanda mulai beecokol pada bab dua. Kedua bab ini menjadi pembuka dari uraian bab-bab selanjutnya. Seperti terkait perubahan pada kepemilikan tanah sebagai akibat Tanam Paksa, pemberontak petani akibat kekuasaan yang menekan serta perubahan elit pada 1870-1900 dan hubungan dengan kepentingan di pedesaan era kolonial Belanda.
Setelah dimulainya pelaksanaan Tanam Paksa, Belanda melakukan penghapusan beberapa kabupaten. Kabupaten yang dihapus di antaranya Jogorogo, Sumoroto dan yang terakhir dihapus Arjowinangun. Pada 1900 keresidenan Madiun terdiri atas lima kabupaten dengan lima asisten residen dalam administrasi Belanda: Madiun, Ponorogo, Pacitan, Ngawi dan Magetan. Keresidenan Madiun kurang-lebih dibatasi oleh alam. Pada sisi barat ada Gunung Lawu yang memanjang sampai pegunungan di selatan Jawa, yang memisahkan wilayah Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta. Di sebelah utara ada Keresidenan Rembang, sementara di sebelah timur ada Gunung Wilis, yang memisahkannya dari Keresidenan Kediri, dan batas selatannya adalah Samudera Indonesia. Jarak antara Yogya dan Madiun yang hampir 200 kilometer dan sulit ditempuh memberi semacam perasaan bebas merdeka pada para bupati kawasan timur, khususnya pejabat tinggi yang membawahi daerah-daerah paling timur berkedudukan di Madiun.
Pada bagian awal juga dibahas tentang praktik kekerasan dalam kehidupan masyarakat. Akar kekerasaan ini menurut Ong Hok Ham sesungguhnya telah tertanam di dalam struktur lama praktik kekuasaan raja-raja kolonial. “Jika rakyat memiliki pengharapaan mesianistis akan seorang raja… (maka) kekuasaan dan cara memerintahnya pun akan bersifat apokaliptik, yang berarti ia akan menggunakan teror untuk menghancur-leburkan dan mempermalukan musuh atau penghalangnya.
“Kekerasaan dalam masyarakat Jawa terlihat paling jelas dalam penghukuman mati lawan beserta seluruh keluarga dan pengikutnya. Prinsip Kawula-Gusti membuat mereka bertanggung jawab secara keseluruhan di mata hukum alih-alih bertanggung jawab secara pribadi. Hukuman mati bagi seorang pangeran atau bangsawan sering juga berarti hukuman mati bagi keluarganya, kerabatnya, pengikutnya, tanggungannya, dan siapa pun yang dianggap kawulanya atau siapa pun yang menganggap dia gusti” (hal.13)
Dalam buku ini Ong Hok Ham menjelaskan tinjauannya terhadap hubungan negara dan petani abad ke-19 dengan serangkaian pemberontakan petani. Bukan hanya itu, ini juga didukung adanya konsepsi perlambang ramalan Jayabaya tentang sosok Ratu Adil yang menjadi ideologi perlawanan. Melalui bukui ini Ong Hok Ham menolak adanya anggapan bahwa pemberontakan yang terjadi karena adanya mesianisme atau gagasan keagamaan Hindu-Islam di Jawa. Melainkan lebih menekankan pada pajak yang memberatkan. Pajak inilah yang menyebabkan gerakan petani.
“Konsepsi sejarah membantu menjelaskan dua fitur yang penting, tetapi tampak bertentangan dalam psikologi politik Jawa: penekanan pada pesimisme dan kerentanan pada daya tarik mesianistis. Pesimisme terlihat dari ketidaklanggengan kekuasaan, kesulitan untuk memperoleh dan mempertahankanny, dan ketidakberdayaan menghadapi kekacauan. Namun, kerentanan pada mesianisme pada masa kekacauan tumbuh dab sebuah kesadarab bahwa sebuah kekuatan baru selalu siap hadir dalam masa kacau ini” (hal.212)
Ong Hok Ham mengungkapkan pokok permasalahan yang menyebabkan adanya pemberontakan adalah pajak. Puluhan jenis pajak dan upeti yang jumlahnya mencapai 70 jenis ini membuat rakyat terbebani. Dan apabila rakyat tidak memiliki tanah, maka mereka wajib untuk melakukan kerja bakti untuk kerajaan atau perangkat lain di atas desa seperti kewedanan dan bupati. Menurut Ong Hok Ham, kolonialisme Belanda sejatinya tidak bersentuhan langsung dengan rakyat, melainkan melalui tangan-tangan penguasa lokal. Pendapat ini senada dengan yang diungkap Multatuli dalam Max Havellar. Belanda meminjam tangan bupati untuk memeras rakyat dengan menerapkan Tanam Paksa dan pajak yang memberatkan.
Bupati adalah institusi sosial dan birokrasi di dalam masyarakat Jawa. Selama Tanam Paksa, para bupati bersama residen Belanda merupakan manajer puncak produksi perkebunan. Bupati juga mendapat titah untuk menjaga keamanan dan ketertiban dan mengelola sistem produksi sampai ke priayi tingkat bawah. Selama abad ke-19, bahkan selama seluruh masa kolonial, terdapat jurang lebar antara bupati dan priayi tingkat di bawahnya. Belanda juga menciptakan posisi keagamaan bagi bupati. Bupati adalah pemimpin umat dan tradisi Islam. Bupati juga pemimpin hakim agama dan punya wewenang menunjuk kekosongan hakim dan dimintai perimbangan atas urusan ini.
Di Keresidenan Madiun setidaknya ada dua keluarga (dinasti) bupati besar. Bupati Prawiradirja (kemudian menjadi Prawiradiningrat) dan Brotodiningrat. Keluarga bupati Prawiradirja diangkat menjadi bupati karena berjasa saat Perang Giyanti. Sementara Brotodiningrat sejatinya berasal dari wilayah Sumoroto yang sebelumnya masuk wilayah kekuasaan Solo. Sejak abad ke-17, keluarga Sumoroto berkuasa tanpa terputus garis keturunannya dan memiliki akar sangat kuat di tingkat lokal, juga terlibat aktif dalam politik dan pertikaian lokal. Brotodiningrat adalah salah satu pejabat karier paling menarik pada paruh akhir abad ke-19. Belanda menganggap Brotodiningrat sebagai seorang pejabat yang andal, khususnya dalam menyelesaikan masalah keamanan dan pertanian, meski sedikit pembangkang. Menjadi semakin jelas, bahwa Pemerintah Hindia Belanda memang tidak berkuasa secara langsung, melainkan melalui bupati yang menjalankan kekuasaan melalui jaringan aparat dan para makelar kekuasaan tidak resmi seperti kepala desa, jago, weri dan sebagainya.

——————— *** ———————

 

Tags: