Sengketa Produk Pers

Oleh:
Sugeng Winarno
Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang.

Sengketa gara-gara pemberitaan pers kembali terjadi. Beberapa pihak yang merasa dirugikan oleh produk pers lapor ke polisi. Padahal sengketa atas hasil kerja jurnalistik idealnya diselesaikan lewat Dewan Pers. Belum banyak masyarakat yang memahami prosedur penyelesaian masalah ini hingga masih berulang kasus pers yang diselesaikan lewat jalur yang keliru.
Seperti telah diberitakan beberapa media, dalam bulan ini saja ada sejumlah jurnalis yang dilaporkan ke polisi karena diduga hasil liputannya merugikan pihak tertentu. Sebut saja misalnya kasus yang dialami jurnalis ZA dari media daring Serat.id dan Farid Wadji dari harian Kompas. Sengketa pers juga terjadi pada kasus perseteruan antara Staf Khusus (Stafsus) Menristek Dikti Abdul Wahid Maktub dengan media online Tirto.
Jurnalis berinisial ZA dilaporkan Humas Universitas Negeri Semarang (Unnes) ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Jawa Tengah. Pelaporan ZA terkait berita investigasi yang dibuat ZA tentang dugaan plagiarisme Rektor Unnes. ZA dilaporkan karena diduga melanggar pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Sementara itu jurnalis Kompas, Farid Widji dilaporkan oleh puluhan hakim tingkat banding ke Polda Metro Jaya terkait dugaan penistaan dan pencemaran nama baik. Pelaporan wartawan Kompas ini terkait dengan berita bertajuk “Hakim di Daerah Keluhkan Iuran”, pada 12 September 2018. Polisi terus melakukan penyidikan atas kasus pemberitaan ini.
Untuk kasus pelaporan jurnalis Tirto dipicu pihak Stafsus Menristek Dikti Abdul Wahid Maktub yang tidak terima namanya disebut dalam pemberitaan tentang dugaan jual beli ijazah. Tirto dilaporkan ke polisi dengan tuduhan menyebar fitnah, pencemaran nama baik, serta pelanggaran UU ITE. Banyak pihak yang menyesalkan pelaporan ke polisi atas kasus sengketa pers ini.
Beberapa kasus jurnalis yang diperkarakan karena diduga melanggar UU ITE terus bertambah. Berdasarkan catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network dalam rentang waktu 28 Oktober sampai 31 Oktober 2018 saja ada sebanyak 318 korban yang dijerat dengan UU ITE. Dan mayoritas kasus dugaan pelanggaran UU ITE dari produk jurnalistik penyelesaiannya lewat kepolisian bukan lewat mekanisme hak jawab dan mediasi Dewan Pers.
Mediasi Dewan Pers
Dewan Pers dan Polri sudah pernah menandatangani nota kesepahaman Nomor 2/DP/MoU/II/2017 dan Nomor B/15/II/2017 tentang koordinasi dalam perlindungan kemerdekaan pers dan penegakan hukum terkait penyalagunaan profesi jurnalis. Penyelesaian sengketa pers disepakati dengan mendahulukan UU No 40/1999 tentang Pers sebelum menerapkan peraturan perundang-undangan yang lain.
UU Pers adalah lex specialis (hukum yang lebih khusus) terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sehingga dalam permasalahan sengketa produk pers ini peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah UU Pers. Dan ketika ada hal-hal lain yang tidak diatur dalam UU Pers baru diselesaikan merujuk pada KUHPer atau KUHP.
Kasus terkait produk pers idealnya tidak langsung dibawah ke ranah pidana. Beberapa kasus pers selama ini diselesaikan dengan perdata. Solusi bila ada pihak yang merasa dirugikan dengan pemberitaan media massa hendaknya melalui hak jawab dan mediasi Dewan Pers. Ketika jalur mediasi tidak ditempuh oleh beberapa pihak yang merasa dirugikan pers maka hal ini bisa menjadi ancaman serius terhadap kemerdekaan pers.
Pers memang harus merdeka dari campurtangan dan intervensi dari pihak manapun. Hanya pers yang merdeka yang akan mampu menjalankan fungsinya secara ideal. Kemerdekaan pers bisa terwujud juga menuntut kerja insan pers yang tidak serampangan. Produk pers yang baik bisa dihasilkan dari kerja jurnalis yang telah teruji kompetensinya dan patuh pada kode etik dan beberapa aturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk itu, agar peristiwa pelaporan jurnalis kepada polisi ini tidak menjadi preseden buruk dalam penegakan kemerdekaan pers maka polisi hendaknya segera melimpahkan kasus ini kepada Dewan Pers. Hal ini perlu dilakukan guna memutus prosedur yang keliru dalam penyelesaian sengketa produk pers selama ini. Polisi hendaknya mematuhi MoU yang telah disepakati bersama Dewan Pers.
Ujian Profesionalisme Pers
Ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dari peristiwa pelaporan atas produk pers ini. Setidaknya melalui beberapa kasus yang ada bisa menjadi ujian bagi insan pers agar terus menerus menegakkan sikap profesional dalam bekerja. Produk pers yang dihasilkan melalui cara kerja yang profesioanal pasti hasilnya bisa dipertanggungjawabkan dengan baik.
Sikap hati-hati dan selalu menjunjung Kode Etik Jurnalistik (KEJ) serta berpedoman pada beberapa aturan dan undang-undang terkait pers menjadi penting selalu dimiliki pekerja media massa. Sikap profesional inilah yang harus terus dijunjung insan pers guna menghasilkan produk pers yang terstandar sesuai prosedur yang telah ditetapkan.
Kalau produk pers dihasilkan melalui proses yang tidak terstandar maka produk pers akan tidak ada bedanya dengan konten media sosial. Kalau di media sosial banyak bertabur berita hoax dan abal-abal karena informasi diproduksi oleh mereka yang bisa saja anonim. Tetapi produk pers dihasilkan oleh media dan jurnalis yang kredibel serta telah melewati proses yang teruji, terukur, terverifikasi atas kebenaran berita yang dipublikasikan.
Persoalannya saat ini masih banyak media massa yang belum terverifikasi. Menurut data Dewan Pers, media massa yang sudah terverifikasi baru sejumlah 2.400 dari perkiraan jumlah total media di Indonesia sebanyak 47.000. Dewan Pers masih sering menerima pengaduan dari masyarakat atas munculnya praktik kerja pers yang menyimpang seperti memeras masyarakat. Praktik kerja jurnalisme menyimpang banyak dilakukan oleh jurnalis dan media abal-abal.
Profesionalisme kerja jurnalisme memang harus ditegakkan. Oleh karena itu setiap jurnalis harus lulus uji kompetensi wartawan. Melalui wartawan yang sudah teruji kompetensinya diharapka bisa menghasilkan produk jurnalisme yang tidak berpotensi jadi sengketa atas berita yang dibuat. Kenyataanya hingga kini sengketa atas produk jurnalisme masih terus terjadi, itu artinya profesionalisme wartawan masih harus terus ditingkatkan.
Dewan Pers hendaknya terus pro aktif terlibat dalam penyelesaian kasus sengketa pers. Masyarakat juga perlu terus diedukasi terkait bagaimana jalur tepat yang harus ditempuh ketika mereka merasa dirugikan oleh pemberitaan pers. Di tahun politik saat ini, peran pers sangat besar dalam ikut mengawal proses demokrasi. Untuk itu insan pers dituntut kerja profesional hingga tidak berpeluang ada pihak yang mungkin dirugikan dari produk pers yang dihasilkan.

———- *** ———–

Rate this article!
Sengketa Produk Pers,5 / 5 ( 1votes )
Tags: