Sesepuh PDI Perjuangan Luwih Supomo Berpulang

(Tokoh Nasional dan Tokoh Pendidikan Berduka) 

Surabaya, Bhirawa
Politisi dan tokoh sepuh PDI Perjuangan, Luwih Supomo, meninggal dunia. Supomo meninggal dunia di kediamannya Rungkut Harapan, Surabaya, pukul 05.00 WIB, Kamis (27/12/2018). Almarhum dimakamkan di TPU Keputih, Sukolilo, Surabaya.
Keponakan almarhum yang juga anggota DPRD Jatim, SW Nugroho menyampaikan bahwa Luwih Supomo meninggal karena sepuh. “Tadi dibangunkan Ibu untuk subuhan, ternyata sudah meninggalkan kami selamanya. Mohon dimaafkan semua kesalahan dan kekhilafan Bapak semasa hidup di dunia,” tuturnya.
Pak Pomo, sapaan akrabnya meninggal di usia 74 tahun. Pria kelahiran Magelang itu, sejak muda telah menceburkan diri dalam gerakan kaum nasionalis. Dia pernah menjadi Ketua Gerakan Pemuda Marhaen (GPM) Kota Surabaya, di bawah Rahmawati Soekarnoputri.
Di rumah duka pun tampak karangan bunga dari Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri, Mendagri Tjahyo Kumolo, Wali Kota Tri Rismaharini dan tokoh-tokoh nasional lainya.
Selain itu, hadir pula di rumah duka, Mantan Ketua MK Prof Harjono Mcl, Prof Mahmud Mz, Prof Djoko Sumadijo dari Unair dan beberapa tokoh pendidikan Jatim lainnya.
“Sebagai yunior, saat itu saya direkrut menjadi pengurus DPC GPM bidang penggalangan massa,” kata Bambang DH, Ketua DPP PDIP yang juga mantan wali kota Surabaya dua periode ini.
Para pelayat selain dari tetangga, juga dipenuhi oleh kalangan politisi nasionalis, termasuk kalangan kader dan pengurus PDIP di Rungkut dan Kota Surabaya.
Selain Bambang DH, terlihat mantan Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya Budi Harjono. Ada pula Ketua DPC PDIP Kota Surabaya, Whisnu Sakti Buana, yang saat ini Wakil Wali Kota Surabaya. Juga terlihat Puti Guntur Soekarno, cucu Bung Karno, yang kini menjadi Calon Legislatif DPR RI dari PDI Perjuangan, Dapil Surabaya-Sidoarjo nomor urut 2.
“Pak Pomo dan generasinya telah mengajarkan kepada kami, bahwa PDI Perjuangan didirikan dengan darah, keringat, air mata bahkan nyawa dari para pejuang partai dan rakyat saat itu,” kata Puti Guntur Soekarno.
Di mata putri Guntur Soekarno, Pak Pomo telah mewariskan prinsip dan dedikasi menjaga kehormatan partai, yakni PDI Perjuangan, sehingga menjadi besar seperti saat ini. “Kesetiaan adalah hal terpenting dari beliau,” kata Puti.
Tahun 1993, ketika Kongres Luar Biasa PDI di Asrama Haji Sukolilo, Pak Pomo merapatkan diri di barisan pendukung Megawati Soekarnoputri. Pilihan politik itu dijalankan konsisten. Bersama Ketua DPD PDI Jawa Timur Ir. Sutjipto, Pak Pomo memotori perlawanan massa rakyat di Kota Surabaya terhadap Kongres PDI di Medan, tahun 1996.
Kongres itu memunculkan pimpinan tandingan Soerjadi-Bhutu Hutapea, sekaligus melahirkan dualisme kepemimpinan di tubuh PDI. Perlawanan dilakukan PDI Pro Megawati terhadap Orde Baru yang banyak disebut mendalangi Kongres di Medan.
Demonstrasi pecah di banyak daerah dan kota besar. Di Kota Surabaya, perlawanan massa dipusatkan di Posko Pandegiling. Saat itu, tiada hari tanpa demo. “Tiada hari pula tanpa orasi Pak Pomo,” kata Bambang DH.
Dalam perjalanan, PDI Pro Megawati di Jawa Timur menggalang “Cap Jempol Berdarah”. Ini untuk meneguhkan dukungan arus bawah pada Megawati Soekarnoputri.
“Saat itu, aksi cap jempol berdarah benar-benar menjadi isu nasional dan menggetarkan. Salah satu inisiatornya adalah Pak Pomo,” kata Bambang DH.
“Selamat jalan senior kami, teman dan sahabat se-perjuangan. Selamat jalan menjumpai Sang Khalik dalam damai,” kata Bambang DH.
Setelah PDI Pro Megawati berganti nama menjadi PDI Perjuangan, dan ikut Pemilu multipartai tahun 1999, Pak Pomo terpilih anggota DPRD Jawa Timur. Dalam Pemilu 2004, almarhum bersama Ir Sutjipto terpilih anggota DPR RI dari Surabaya.
“Selamat jalan Pak Pomo. Selamat menghadap Allah SWT. Terima kasih dan hormat kami atas semua perjuangan di masa lalu,” kata Whisnu Sakti Buana.
Whisnu mengenang senior PDIP itu sebagai loyalis Megawati, bersama ayahnya almarhum Ir. Sutjipto. “Angkatan ini punya prinsip bulat, pejah gesang nderek (hidup mati ikut) Bung Karno,” kata Whisnu.
Saat menerima Puti Guntur Soekarno, beberapa waktu lalu, sebelum meninggal dunia, Pak Pomo mengenang masa pergerakan PDI Pro Mega tahun 1996-1999.
“Saat itu, kami tidak takut resiko apa pun. Bahkan, kalau pun mati, kami percaya akan masuk ke surga karena membela Bung Karno,” kata Pak Pomo. (geh)

Tags: