Sonata Peserta Didik Tunarungu

Oleh:
Yogyantoro
Pendidik dan Peserta Pelatihan Guru Pendidikan Inklusif di Okayama,Jepang.

Dalam kehidupan sehari-hari kita baik di keluarga, sekolah dan masyarakat selalu menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Lantas bagaimana dengan keberadaan peserta didik dengan gangguan pendengaran yang barangkali disebabkan oleh kelainan sejak lahir, kecelakaan atau penyakit? Peserta didik tersebut tetap mempunyai kesempatan yang sama dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari komunitas sekolah yang inklusif. Peserta didik tunarungu memiliki hak atas pelayanan yang sesuai dengan kondisi fisiknya. Mereka tetap dapat masuk di sekolah umum dengan bantuan tambahan tergantung pada seberapa besar tingkat masalahnya.
Pada dasarnya, terlaksananya pendidikan inklusif bagi peserta didik tunarungu adalah memahami bahwa peserta didik tersebut mengalami hambatan dalam mengasosiasikan diri dengan budaya “mendengar”. Oleh karena itu, peserta didik tunarungu perlu dipastikan dapat diterima di sekolah umum meskipun memiliki kebutuhan akan pendidikan khusus. Peserta didik tunarungu itu tidak bodoh. Mereka memiliki kecerdasan yang sama namun memiliki cara komunikasi yang berbeda.
Salsabila Rasika Sumekto adalah contoh penyandang tunarungu yang bersekolah di sekolah umum sejak SD hingga SMA dan sekarang berhasil membuat komik yang ditayangkan dalam web Ciayo Comics hingga mencapai 25 episode. Sama halnya dengan Muhammad Erwin Althaf, penyandang disabilitas tunarungu yang menempuh pendidikan SD dan SMP di sekolah umum di Semarang dan SMA di Yogyakarta serta berhasil menjadi mahasiswa program sarjana di Universitas Gadjah Mada(UGM). Begitu juga Angkie Yudistia, salah satu staf khusus presiden penyandang tunarungu, bersekolah di sekolah umum dan lulus dari SMAN Bogor tahun 2005.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan dan mengembangkan potensi siswa. Pendidikan diberikan kepada seluruh manusia tanpa memandang anak, baik normal maupun anak berkebutuhan khusus. Dengan kata lain, pelayanan pendidikan tidak membedakan fisik, emosi, sosial dan intelektual. Maka dari itu, penyelenggaraan layanan pendidikan untuk peserta didik tunarungu atau yang berkelainan tidak boleh menitikberatkan pada ketidakmampuannya tetapi harus memperhitungkan kompetensi yang masih mungkin untuk dikembangkan.
Kompetensi yang masih dapat dikembangkan dan dimanfaatkan oleh peserta didik tunarungu adalah kompetensi menghayati bunyi. Kata yang harus disepakati oleh banyak orang agar tidak salah arti ataupun tafsir terkadang menjadi hambatan bagi peserta didik tunarungu. Peserta didik tunarungu bisa mengalami gangguan pendengaran baik pada taraf ringan, sedang maupun berat. Meskipun dalam taraf ringan peserta didik tunarungu tetap saja menghambat komunikasi dengan lawan bicara. Ketika ada rangsangan suara dari luar peserta didik tunarungu tidak dapat menerimanya dengan baik. Hal ini dapat mempengaruhi kemampuan bahasa mereka sebagai alat komunikasi. Gangguan mendengar pada peserta didik tunarungu menyebabkan perkembangan bahasa mereka terhambat.
Pada kelas di sekolah peyelenggara pendidikan inklusif (SPPI) yang di dalamnya terdapat peserta didik tunarungu, maka perlu adanya media yang menunjang proses pembelajaran bagi siswa tunarungu. Pengembangan Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama (PKPBI) menjadi program yang wajib diberikan kepada peserta didik tunarungu. Keterbatasan persepsi komunikasi dan interaksi siswa terhadap maksud dari kosakata yang diucapkan guru menjadikan keberhasilan dari tujuan pembelajaran tidak tercapai secara optimal. Sehingga melalui latihan bina persepsi bunyi, diharapkan peserta didik tunarungu dapat menghayati adanya bunyi atau suara di sekitarnya.
Menyalurkan pendidikan kepada peserta didik tunarungu melalui media games (permainan) dapat pula mendukung perkembangan pengetahuan mereka. Pembelajaran diharapkan lebih kreatif agar anak lebih termotivasi dalam belajar dan anak tidak mudah bosan dalam belajar. Menyisipkan sebuah media permainan dalam pembelajaran juga tidak mudah. Seorang guru harus menyesuaikan pokok bahasan dengan permainan apa yang digunakan. Maka dari itu guru harus menguasai teknik-teknik permainan dan pemberian teknik permainan ke peserta didik harus semenarik mungkin sehingga mereka tertarik untuk belajar.
Penggunakan permainan sederhana seperti crossword atau scrabble dapat membantu peserta didik tunarungu menambah lebih banyak kosa kata dalam berkomunikasi. Crossword merupakan permainan yang biasa dimainkan oleh orang-orang normal. Tapi bagi peserta didik tunarungu khususnya yang belum mengenal banyak kosakata tidak memungkinkan jika kisi-kisi pada teka-teki merupakan sebuah kalimat, maka kisi-kisi diganti dengan menggunakan gambar-gambar berwarna agar lebih menarik. Begitu juga scrabble yang merupakan permainan berbentuk papan dan cara bermainnya dengan menyusun kata yang dapat dimainkan sendiri ataupun berkelompok. Gambar adalah media yang efektif digunakan pada peserta didik tunarungu di kelas dasar karena antusias peserta didik dengan suatu gambar lebih tinggi. Kustiawan Usep (2013:19) berpendapat bahwa gambar dapat digunakan untuk melukiskan objek tertentu serta dapat dinikmati secara visual.
Guru dapat menggunakan petunjuk visual untuk membantu presentasi dan mengizinkan peserta didik tunarungu untuk menggunakan komputer dalam mengerjakan tugas-tugas mereka. Dukungan material untuk membantu peserta didik tunarungu dapat dengan menggunakan computer-assisted note taking, induction loops, alat bantu dengar atau bisa juga melalui implantasi koklea. Agar tujuan pendidikan peserta didik dengan kebutuhan khusus utamanya tunarungu dapat terlaksana dengan baik perlunya sikap kooperatif dari semua pihak tanpa membeda-bedakan bentuk fisik untuk mencapai tujuan pembelajaran. Penanaman sikap bahwa semua individu sama dalam menerima haknya untuk belajar dan mendapatkan pekerjaaan yang layak juga harus ditanamkan dalam diri setiap individu.
Kisah sukses penyandang tunarungu seperti Mohammad Andhika Prakoso pemilik gerai Kopi Tuli yang pendiri hingga karyawannya merupakan 100 persen orang yang tunarungu dan Ben Christopher Cohen, pemain rugby profesional Inggris yang berhasil menjuarai Rugby World Cup 2013 patut membuka mata kita bahwa peserta didik tunarungu memiliki potensi yang tidak berbeda dengan peserta didik reguler. Peserta didik tunarungu tentu ada yang superior, rata-rata dan subnormal. Hanya saja, tidak berfungsinya salah satu indera khususnya pendengaran membuat peserta didik tunarungu sulit menangkap makna komunikasi yang dilakukan dengan orang lain. Namun penggunaan abjad jari dan bahasa isyarat dapat memperkecil kegagalan peserta didik tunarungu dalam berkomunikasi.
Setali tiga uang dengan penanganan peserta didik tunarungu yang dapat bersekolah di sekolah umum, begitu juga pada peserta didik dengan perilaku antisosial (temper tantrum), perilaku insecure, perilaku agresif, gangguan ADHD, cerebral palsy, autisme, down syndrome dan tuna-tuna lainnya. Mereka bisa menempuh pendidikan di sekolah umum atau SPPI agar mampu berbaur dengan peserta didik reguler karena mereka nantinya bakal terjun di masyarakat yang heterogen.

————— *** —————

Rate this article!
Tags: