Stop Penggunaan Energi Batu Bara

foto ilustrrasi

Batu bara merupakan bahan bakar fosil yang paling berpolusi. Emisi gas rumah kaca dari pembakarannya pun kontributor tunggal terbesar terhadap perubahan iklim. Urgent dan logis adanya jika negara di dunia mulai mengurangi penggunaan energi batu bara ini, termasuk Indonesia. Menghentikan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dan berhenti membangun pembangkit baru merupakan kesepakatan dunia untuk mencapai target iklim yang disepakati secara global.

Indonesia berkomitmen melakukan transisi energi. Hal tersebut, untuk mengakhiri penggunaan batu bara sebagai energi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Terlebih, PLTU batu bara dengan kapasitas saat ini sebesar 31,9 GW telah berkontribusi sangat besar terhadap perubahan iklim serta dampak kesehatan, social, dan ekonomi yang merugikan rakyat Indonesia. Belum lagi tambahan sebesar 13,8 GW PLTU di dalam RUPTL 2021-2030, 90% di antaranya akan dibangun di Jawa dan Sumatera yang sudah mengalami kelebihan kapasitas, (Kompas, 8/11/2021).

Oleh sebab itu, upaya menghentikan penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara secara bertahap dan memulai transisi ke energi ramah lingkungan penting dilakukan. Sebagai gantinya, pemerintah berencana mempensiunkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara dengan kapasitas mencapai 5,5 GW dalam beberapa tahun ke depan. Sebagai gantinya, pembangkit fosil itu akan diganti dengan yang lebih ramah lingkungan dan merupakan energi baru terbarukan (EBT). Merujuk dari Kontan, (8/11/2021), kebutuhan pendanaan untuk peralihan itu sebesar US$25 miliar sampai US$30 miliar (setara Rp357,5 triliun sampai Rp429 triliun) selama delapan tahun ke depan.

Dana yang terbilang fantastis, tentu pemerintah ke depan harus konsisten, jangan hanya karena diforum global, menghadiri Konferensi Perubahan Iklim PBB COP26 2021 di Glasglow, kemudian cari legitimasi dan pendanaan besar dari negara maju, namun kesiapan teknisnya tidak disiapkan dengan matang. Khawatirnya jadi omong kosong. Selain itu, pemerintah seharusnya tidak hanya merancang transisi ini secara teknis dan teknokratis, tetapi juga harus sangat memperhatikan ekonomi politik.

Ani Sri Rahayu
Pengamat Politik Universitas Muhammadiyah Malang

Rate this article!
Tags: