Tanpa Santan, Tergoda Menikmati Masakan Ayam Lodho Ala Perancis

20-memasakMemperingati Satu Tahun Berdirinya Podjok Prancis di Universitas Narotama
Kota Surabaya, Bhirawa
Masih ingat ayam lodho makanan khas Kabupaten Tulungagung? Ternyata jauh di belahan bumi Eropa sana, tepatnya di Perancis, masakan ini cukup populer menjadi menu masakan rumahan. Ayam lodho yang bercita rasa pedas dikenal dengan nama  poulet a la mourtarde et a l’estragon. Dari ‘Podjok Prancis’ Universitas Narotama (Unnar) Surabaya, masakan ini pun mulai popular di kalangan mahasiswa.
Rabu (19/3) siang kemarin di Podjok Prancis Unnar Surabaya, Mr Francais memulai demo masaknya dengan merebus beberapa potong paha ayam hingga setengah matang. Dia sejatinya bukanlah juru masak restoran ternama di Perancis, atau koki di hotel  berbintang. Namun untuk membuat poulet a la mourtarde et l’estrogen, baginya bukan hal menyulitkan.
Di hadapan para peserta yang terdiri dari mahasiswa, klub Perancis Unnar Surabaya, Ekspatriat Women Assosiasi (EWAS), dan Institute Francais Indonesia (IFI), Mr Francais terlihat sibuk dengan masakan yang akan dibuatnya. Setelah rebusan ayamnya dirasa cukup, dia lalu meletakkan ayam-ayam itu di wajan bersama bumbu-bumbu yang dikemas dalam kemasan berbahasa Perancis. Ada beberapa kemasan yang sekilas masih dapat disebut dengan lidah Jawa, seperti minyak olive, garam, merica, moetarde, dan daun estragon.
Mr Francais mengatakan orang Perancis lebih suka masakan yang rasanya masih orisinil. “Kalau ayam ya masih terasa ayamnya, daging terasa dagingnya, tidak terlalu empuk sehingga hilang protein, vitamin maupun cita rasanya,” ungkap dia.
Setelah rampung dimasak, rasa ayam lodho khas Perancis ini ternyata tak seperti yang dibuat oleh tangan pribumi di Tulungagung. Rasanya asin dan tidak terlalu pedas karena tak menggunakan cabai, ditambah aroma sedap dari kaldu ayam. Kuahnya tidak sekental ayam lodho asli yang menggunakan santan. Sebab, poulet a la moutarde tak menggunakan santan, hanya krim ala Perancis yang dipercaya dapat mengurangi kolestrol. “Orang Perancis memakan ini dengan kentang. Karena kentang makanan utama orang Perancis,” tutur pria yang menikah dengan warga Indonesia ini.
Setiap masakan Perancis, kata Mr Francais, pada dasarnya lebih sederhana dari masakan lain. Sebab, orang di sana tidak terlalu suka banyak menggunakan bumbu. “Dan satu hal, masakan disajikan agar langsung siap makan. Sehingga bersih dari tulang,” ungkap dia.
Demo masak yang digelar tersebut merupakan rangkaian acara yang digelar untuk memperingati satu tahun berdirinya Podjok Prancis di Unnar Surabaya. Podjok Prancis ini merupakan wadah bagi mahasiswa untuk mempelajari bahasa, budaya Perancis atau mahasiswa yang ingin melanjutkan studi ke Perancis.
Dalam kesempatan tersebut, turut hadir Penanggung Jawab Campus France Surabaya Dina Mardiana untuk berbagi pengalaman selama belajar di Perancis. Negeri tempat menara Eifel berdiri itu, menjadi salah satu negara impian para akademisi yang ingin mempelajari sains dan filsafat. “Di Perancis, biaya studi sangat murah. Tanpa beasiswa, mahasiswa cukup membayar Rp 3 juta per tahun untuk program S1,” tutur Dina.
Campus France yang berdiri di bawah naungan Kedutaan Besar Perancis ini sejatinya juga menyediakan beasiswa bagi mahasiswa yang ingin melanjutkan studi ke Perancis. Setiap tahun, sekitar 300 paket beasiswa diberikan Pemerintahan Perancis untuk program S1, S2 dan S3. “Sayang tidak setiap tahun beasiswa itu terserap dengan baik. Sebab, tak banyak orang yang mampu menguasai bahasa Perancis,” katanya.
Minimal, kata dia, untuk melanjutkan studi ke Perancis, seseorang harus menguasai bahasa Prancis level B 1 atau B 2. “Sebenarnya kalau mahasiswa Indonesia mau melanjutkan S2 dan S3 di sana, tidak hanya biaya studi yang dibiayai. Melainkan biaya hidup juga akan didapat,” ungkap dia. [tam]

Tags: