Terbiasa Berbahasa Inggris, Bingung Saat Kerjakan Soal Bahasa Indonesia

17-unas-terakhirHari Terakhir UN SMA,MA,SMK dan Paket C
Kota Surabaya, Bhirawa
Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK) Paket C telah berakhir digelar, Rabu (16/4) kemarin. Banyak hal menarik terjadi selama ujian yang dikenal dengan kejar paket itu berlangsung. Mulai dari peserta yang telah berusia senja, hingga yang masih berusia belasan. Ada yang murni tidak pernah sekolah, ada juga yang sudah menjadi kandidat lulusan Cambridge.
Baru satu jam berselang ketika soal mata pelajaran (Mapel) Bahasa Inggris diujikan, sejumlah peserta ujian kejar paket C sudah terlihat begitu santai di dalam kelas. Naskah soal juga sudah diletakkan di pojok meja dan tertutup rapi. Itu tandanya, mereka sudah selesai mengerjakan 50 soal yang sedang diujikan. Padahal, peserta diberi kesempatan 120 menit alias 2 jam untuk mengerjakan soal tersebut.
Jam pertama ujian terakhir kejar paket C itu memang tampak sangat mudah dilahap oleh mereka. Maklum para peserta ini sejatinya adalah siswa dari SMA Spins International School, Surabaya. Butir-butir soal Bahasa Inggris tentu sudah bukan masalah bagi mereka. Karena setiap hari, mata pelajaran yang disampaikan oleh guru menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar.
Ketika ditanya pengalamannya mengerjakan soal Bahasa Inggris, salah satunya peserta dari sekolah internasional Crystal Kwandy hanya tersenyum-senyum. Dia memberi kode bahwa ujian kali terakhir ini memang bukan seperti ujian. “Mudah sekali. Hanya satu jam selesai padahal waktu yang disediakan dua jam,” kata dia.
Namun tidak semua mata ujian dihadapinya dengan enteng. Siswa kelahiran Kota Surabaya ini mengaku justru kesulitan saat mengerjakan soal-soal Bahasa Indonesia dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). “Di sekolah tidak ada pelajaran itu. Makanya kesulitan saat mengerjakan,” ungkap dia.
Untuk mengerjakan soal Bahasa Indonesia, Crystal mengaku perlu menerjemahkan kalimat-kalimatnya dalam Bahasa Inggris lebih dulu. Dengan begitu, dia akan lebih mudah memahami perintah yang tersebut dalam soal. Apalagi saat mengerjakan soal cerita, kata dia, soal semacam ini menurutnya yang paling sulit. Sementara untuk soal PKn, jenis soal dengan perintah menyebutkan pasal undang-undang adalah yang paling sulit baginya. “Memang sulit, tapi kami sudah melakukan persiapan untuk ujian ini sejak lima bulan lalu. Setiap bulannya kami juga mengikuti try out,” tutur dia.
Lantas apa alasannya mengikuti ujian kejar paket C? Crystal berharap setelah lulus nanti, selain mendapat ijazah international Cambridge, dia juga memiliki ijazah yang diakui negara. Dengan demikian, langkahnya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi di Indonesia akan lebih mudah. Selain itu, untuk memilih perguruan tinggi berkualitas baik di luar negeri juga membutuhkan ijazah dari negara asal.
“Kalau menggunakan ijazah negara, kita bebas memilih perguruan tinggi berkualitas di luar negeri,” tutur siswi yang berencana melanjutkan studinya di Amerika itu.
Pengalaman serupa juga dialami Esther Febrinda. Kesulitannya mengerjakan soal Bahasa Indonesia dan PKn tidak bisa dia pungkiri. Jangankan untuk mengerjakan soalnya, untuk berbicara dengan Bahasa Indonesia saja masih terbata-bata. “Kurikulum yang digunakan di sekolah mengacu Singapura. Karena itu di sana  tidak ada yang menggunakan Bahasa Indonesia dan maple PKn,” kata perempuan yang ingin melanjutkan studinya di Taiwan itu.
Kabid Pendidikan Non Formal dan Informal (PNFI) Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim Abdun Nasor  mengungkapkan, pendidikan kesetaraan ini pada mulanya ditujukan untuk memfasilitasi anak yang tidak dapat melanjutkan sekolah formal dengan berbagai alasan. Misalnya putus sekolah, gagal formal, dan bekerja membantu orangtua. Namun dalam perkembangannya, pendidikan kesetaraan ternyata juga berhasil menarik minat anak-anak yang notabenenya dari keluarga berada. “Kemarin ada yang dari home schooling, sekarang ada yang ikut dari sekolah internasional,” tutur dia.
Tingginya minat masyarakat ini, menjadi bukti bahwa pendidikan kesetaraan tidak bisa lagi dikesampingkan. Bahkan ke depan, program pendidikan ini akan menjadi satu dalam pendidikan formal. “Di pusat, Direktorat Jendral Pendidikan Kesetaraan sudah tidak ada. Sementara yang menangani adalah langsung oleh Direktorat Pendidikan Menengah dan Dasar,” kata dia.
Tren ini, lanjut Nasor, semestinya harus diperhatikan oleh masyarakat yang awalnya menjadi sasaran pendidikan kesetaraan.  Mereka yang putus sekolah atau yang gagal formal tidak perlu gengsi mengikuti program ini. “Buktinya, orang kelas menengah ke atas juga banyak yang memanfaatkan. Karena itu, masyarakat yang kurang beruntung dalam hal pendidikan seharusnya lebih bisa memanfaatkan program ini,” ungkap pria kelahiran Mojokerto ini. [tam]

Tags: