Terbukti Korupsi Kapal Rp63 Miliar, Dirut ACTN Divonis 16 Tahun Penjara

Terdakwa Antonius Aris Saputra, Dirut ACTN usai mendengar putusan 16 tahun penjara atas kasus korupsi pengadaan kapal floating dock, Rabu (14,8) di Pengadilan Tipikor. [Abednego/bhirawa]

Surabaya, Bhirawa
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Surabaya, Cokorda Gede menjatuhkan vonis 16 tahun penjara terhadap terdakwa Antonius Aris Saputra, Dirut A&C Trading Network (ACTN), Rabu (14/8).
Vonis ini lantaran terdakwa dianggap terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi pengadaan kapal floating dock 8.500 TLC pada 2015 lalu, dengan kerugian mencapai Rp63 miliar.
Dalam amar putusannya, Hakim Cokorda menganggap terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan primer Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi (Tipikor).
Sebelum menjatuhkan vonis, Hakim membacakan pertimbangan yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Adapun pertimbangan yang memberatkan, diantaranya, terdakwa hanya mengembalikan uang kerugian sebesar Rp1,4 miliar. Hal ini dianggap terlalu kecil bagi Majelis Hakim jika dibandingkan nilai kerugian negara yang mencapai Rp63, 342 miliar.
Selain itu, tindakan terdakwa sebagai pengusaha dianggap sebagai contoh yang buruk bagi pengusaha di Indonesia. Tindakan korupsi terdakwa juga dianggap bertentangan dengan program pemberantasan korupsi yang dicanangkan oleh Pemerintah. Sementara pertimbangan yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum.
“Menjatuhkan pidana selama 16 tahun penjara, dan denda sebesar Rp 1 miliar, subsider 6 (enam) bulan kurungan,” kata Ketua Majelis Hakim Cokorda Gede dalam putusannya.
Selain itu, terdakwa juga diwajibkan untuk membayar kerugian negara sebesar Rp 61 miliar lebih. Jika tidak dibayar selama 41 bulan, maka hartanya akan disita oleh negara. Apabila harta yang disita tidak mencukupi, maka diganti dengan pidana selama 8 tahun penjara.
Terkait dengan putusan ini, baik terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejati Jatim, langsung menyatakan pikir-pikir. “Saya pikir-pikir yang mulia,” ucap Antonius dan juga JPU Arif Usman.
Dalam kasus ini, penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejati Jatim menemukan bukti-bukti baru dari persidangan terdakwa Antonius Aris Saputra dan mantan Dirut PT Dok dan Perkapalan Surabaya (DPS) Riry Syeried Jetta (berkas terpisah).
Dari situlah penyidik Pidsus Kejaksaan melakukan pemeriksaan terhadap belasan saksi-saksi yang namanya disebut dalam persidangan perkara ini.
“Pemeriksaan para saksi ini sudah kami lakukan pada Senin (12/8) dan Selasa (13/8). Pekan depannya kami juga jemput bola saksi-saksi yang ada di Jakarta,” terang Jaksa Trimo dari Kejati Jatim.
Trimo menjelaskan, sekitar 10 orang saksi yang diperiksa di Jakarta ini dintaranya terdiri dari Dewan Komisaris PT DPS dan pihak appraisal. Pemeriksaan pun, lanjut Trimo, akan dilakukan di Gedung Bundar, Kejaksaan Agung (Kejagung).
“Pekan ini sudah ada belasan saksi yang kami periksa. Tapi sebagian saksi minta dijadwalkan ulang pemeriksaannya, diantaranya Dirut PT DPS, Bambang Soendjaswono dan Direktur Operasional PT DPS, Diana Rosa,” pungkasnya.
Dalam kasus dugaan korupsi pengadaan kapal floating dock ini, selain menyeret terdakwa jaksa juga sudah menyeret mantan Dirut PT Dok dan Perkapalan Surabaya (DPS) Riry Syeried Jetta (berkas terpisah).
Kapal yang dipesan itu adalah kapal ex Rusia yang dibuat tahun 1973. Usia kapal diperkirakan sudah 43 tahun lebih. Padahal sesuai peraturan menteri perdagangan Nomor 75 tahun 2013 pengadaan barang bekas maksimal usia 20 tahun.
Dalam pengadaan floating crane 8.500 TLC pada tahun 2015 itu, PT DPS telah mengeluarkan uang USD 4.500.000 atau senilai Rp 63 miliar. Namun kapal yang dipesan itu tidak pernah diterima sampai sekarang. Dalam kasus ini, jaksa mendapati adanya kerugian negara senilai Rp63 miliar. [bed].

Tags: