Tradisi Maulid Nabi dan Perspektif Humanisme

Oleh :
Dewi Ayu Larasati
Staf Pengajar di Universitas Sumatra Utara (USU), Medan

Pada bulan Rabiul Awal, umat Islam merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang puncaknya berlangsung di malam kedua belas. Peringatan Maulid Nabi ini sebagai wujud penghormatan sekaligus ungkapan rasa syukur atas lahirnya insan termulia yang membawa lentera hidayah di alam semesta.

Walaupun peringatan terhadap kelahiran baginda Nabi Muhammad bukanlah tradisi yang ada ketika rasul hidup, perayaan ini justru menjadi tradisi dan berkembang luas dalam masyarakat dan kehidupan umat Islam dari berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, jauh sesudah Rasulullah Muhammad wafat.

Di persada Nusantara, tradisi peringatan Maulid Nabi dibawa oleh penyebar Islam yang berasal dari Hadramaut, Yaman. Selanjutnya tradisi itu melebur dengan kebudayaan lokal yang sangat kaya raya ragamnya sehingga menciptakan banyak ritual yang khas.

Nilai Kepedulian

Peduli merupakan nilai dasar kemanusian dan sikap memperhatikan dan menumbuhkan tindak atau sikap proaktif terhadap keadaan yang ada disekitar kita.

Tradisi Maulid Nabi di berbagai daerah di Indonesia sarat akan nilai kepedulian terhadap sesama.

Di Aceh misalnya, peringatan maulid Nabi Muhammad SAW dikenal dengan istilah “khanduri maulod”. Dalam pelaksanaannya, warga menggelar kenduri besar dengan mengundang anak yatim dan kerabatnya.

Menurut orang Aceh memuliakan hari kelahiran Nabi dengan cara berkenduri secara besar-besaran adalah suatu keharusan bagi yang mampu, sebagai bentuk syukur atas nikmat iman, islam dan ihsan yang telah diperoleh. Melalui khanduri maulod, umat Islam bisa merajut persaudaraan serta merawat kebersamaan.

Menu yang dihidangkan pada perayaan maulid sangatlah istimewa seperti Kuah Beulangong dan Bu Kulah. Kuah Beulangong atau masakan kari berbahan dasar daging merupakan masakan tradisional yang sudah ada sejak era Kerajaan Aceh Darussalam. Bu kulah adalah nasi putih dibungkus dengan daun pisang yang sudah dibakar di atas bara api hingga terlihat hijau mengilap. Bentuknya mengerucut seperti piramida.

Kuliner ini disuguhkan kepada para undangan dalam hajatan khanduri (kenduri) maulod alias Maulid Nabi yang digelar di masjid-masjid, meunasah meunasah bahkan di rumah warga masing-masing.

Tradisi Maulid Nabi “bungo lado” yang ada di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat juga sarat dengan nilai kepedulian. Bungo lado (yang berarti cabai berbunga uang) adalah pohon yang dihias dengan daun berupa uang kertas. Uang-uang yang menempel di pohon hias ini selanjutnya dikumpulkan dan disumbangkan untuk kegiatan keagamaan.

Selanjutnya, Upacara Sekaten yang merupakan upacara yang digelar oleh masyarakat dan istana Keraton Yogyakarta dalam rangka memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW juga memiliki nilai kepedulian. Prosesi menyebar “udhik-udhik” sebagai tanda dimulainya perayaan Sekaten menjadi simbol upaya dari seorang pemimpin untuk selalu berusaha menyejahterakan rakyat yang dipimpinnya.

Tradisi udhik-udhik adalah bentuk pemberian Raja Keraton Yogyakarta kepada rakyatnya atau sedekah berupa uang logam, beras kuning serta bunga-bunga. Hal ini sudah berlangsung sejak lama dan menunjukkan bahwa Sultan itu harus selalu memberikan sesuatu kepada rakyatnya karena posisi Sultan yang tinggi. Tradisi ini juga sebagai upaya mendekatkan keraton dengan warga sekitarnya

Nilai Solidaritas

Secara etimologi, solidaritas adalah kesetiakawanan dan sepenanggungan. Menurut Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi (1990) mendefinisikan solidaritas sebagai suatu bentuk kerjasama, tolong menolong, musyawarah dalam segala aktivitas manusia yang sangat berhubungan dalam memperkuat integrasi.

Tradisi Maulid sejatinya memiliki nilai fungsional dalam pemeliharaan integrasi dan solidaritas kelompok di kalangan masyarakat etnik Indonesia.

Seperti halnya tradisi “endhog-endhogan” di Banyuwangi, Jawa Timur. Kata endhog dalam bahasa Osing Banyuwangi berarti telur. Telur jadi simbol kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tradisi ini kerap dijadikan pengikat solidaritas masyarakat Banyuwangi, karena proses penyelenggaraannya melibatkan seluruh masyarakat, mulai dari awal hingga akhir. Melalui kegiatan tersebut, akan terwujud suatu keakraban dan kerukunan bersama.

Dalam tradisi ini telur dihias dengan menarik, dan ditancapkan ke batang pisang yang juga telah dihias. Telur-telur yang telah direbus tersebut diarak keliling kampung dan selanjutnya dibagikan secara beramai-ramai kepada seluruh warga.

Tradisi “maudu lompa” yang merupakan tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW di Cikoang Tangkalar, Sulawesi Selatan juga memiliki nilai filosofis untuk menguatkan solidaritas sosial budaya masyarakat. Butuh persiapan panjang sekitar 40 hari untuk dapat menggelar tradisi ini. Para pemuda bergotong-royong mempersiapkan replika kapal atau julung-julung. Julung-julung ini berisi hidangan khas berupa nasi pamatra atau setengah matang yang dilengkapi lauk ayam kampung dan telur warna-warni penuh hiasan bunga kertas dan male atau guntingan kertas minyak menyerupai tubuh manusia. Mengakhiri prosesi, isi julung-julung selanjutnya dibagikan kepada semua warga yang hadir.

Nilai Persaudaraan

Festival walima, yaitu perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Gorontalo, juga memiliki nilai filosofis yang tinggi. Adat turun temurun tersebut merupakan ajang untuk mempererat tali persaudaraan antar warga Gorontalo di perantauan dan dengan suku lain yang hidup berdampingan di Kota Bitung.

Dalam prosesi walima, setiap keluarga yang mampu akan membuat tolangga (wadah besar) yang diisi dengan kue dan makanan tradisional Gorontalo. Salah satu kue khasnya adalah kolombengi, semacam kue bolu kering yang manis dan gurih rasanya. Dalam satu walima, biasanya memuat hingga ratusan kue ini.

Tolangga kemudian diantarkan ke masjid untuk didoakan melalui prosesi dikili atau zikir yang dilaksanakan semalam suntuk. Keesokan harinya kue dan makanan dibagikan kepada masyarakat.

Tradisi Maulid Nabi di Ciamis Jawa Barat yang disebut “ngaruwat lembur” juga menjunjung tinggi nilai persaudaraan. Dalam tradisi ini, masyarakat sekampung berziarah secara berjamaan di pemakaman, setelah itu botram (saling berbagi) makanan. Setiap warga membawa jenis makanan berbeda-beda, sehingga satu sama lain saling berbagi mencoba satu per satu makanan yang ada.

Nilai Keadilan atau Kesetaraan

Tradisi weh-wehan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW di Desa Plantaran, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal, dalam pelaksanaannya tidak memperhatikan perbedaan gender. Laki-laki dan perempuan mempunyai peran masing-masing tanpa memunculkan diskriminasi maupaun stereotype gender untuk mengikuti serangkaian tradisi wewehan.

Istilah weh-wehan berasal dari kata weweh (Bahasa Jawa) yang berarti memberi. Jadi weh-wehan artinya memberi atau berkunjung atau bersilaturahmi kepada tetangga, teman, kerabat, atau saudara. Masyarakat Kaliwungu dalam hal ini menyiapkan berbagai makanan tradisional yang dihidangkan di depan rumah masing-masing. Mereka seperti berjualan. Tetangga yang berkunjung untuk memberi makanan, akan diganti dengan makanan miliknya. Makanan tradisional yang dihidangkan, adalah sumpil. Sumpil terbuat dari nasi yang dibungkus oleh daun bambu (seperti ketupat) berbentuk segitiga. Cara memakannya dicampur dengan sambal kelapa.

Berdasarkan ulasan di atas, sudah saatnya kita menjadikan ritual Maulid Nabi Muhammad SAW sebagai sarana untuk membangkitkan spirit beragama serta sebagai inspirasi dalam menjunjung tinggi humanisme dalam menciptakan keharmonisan sosial. Apalagi saat ini penghormatan terhadap nilai-nilai humanis semakin ditanggalkan.

Tags: