Turun Kelas BPJS

foto ilustrasi

Ribuan peserta BPJS Kesehatan berbondong-bondong mendaftar “turun kelas” seiring kenaikan iuran peserta mandiri kelas 1, dan kelas 2. Kenaikan yang tertuang dalam Perpres 64 tahun 2020, merupakan “proposal” kedua (dalam setahun) tentang peningkatan tarif iuran BPJS. Proposal pertama dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) melalui proses uji materi. Bisa jadi, “proposal” kedua ini akan lolos uji materi. Karena kenaikan iuran hanya pada golongan mampu (pada jalur BPJS mandiri).

Pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 64 tahun 2020. Isinya tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan mandiri kelas 1, dan kelas 2. Pertimbangannya, tidak akan menyusahkan masyarakat. Karena peserta kelas 1, dan kelas 2, “diduga” tergolong kalangan mampu. Sedangkan iuran BPJS Kesehatan mandiri kelas 3 baru diberlakukan tahun 2021, menunggu wabah pandemi CoViD-19 mereda. Pemerintah terkesan “memaksa” kenaikan iuran BPJS Kesehatan, disebabkan masih selalu tekor.

Kenaikan iuran BPJS, diharapkan bisa menutup defisit, utang BPJS yang makin menumpuk kepada rumahsakit. Jika iuran BPJS tidak dinaikkan, berpotensi utang makin membubung sampai Rp 32,48 trilyun pada akhir tahun 2019. Ironisnya, sumber utang paling besar tercatat pada ke-perserta-an BPJS kelas 1. Tak jarang, layanan kesehatan selama tiga hari setara dengan pembayaran iuran selama tiga tahun. Biasanya pula, masyarakat baru mendaftar kepesertaan BPJS ketika sudah sakit kronis.

Sering terjadi, hanya beberapa kali membayar iuran, peserta sudah meninggal dunia. Tetapi jaminan pelayanan kesehatan merupakan hak seluruh rakyat. Termasuk tanpa membayar biaya tindakan kesehatan. Sebenarnya pemerintah telah coba melaksanakan amanat UUD pasal 34 ayat (2) melalui penerbitan UU Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaimnan Sosial (BPJS). Pada pasal 5 ayat (2) terdapat dua jenis BPJS. Yakni, BPJS Kesehatan, dan BPJS Ketenagakerjaan.

Tetapi tak dinyana, peserta BPJS Kesehatan mencapai 224,5 juta jiwa. BPJS nampak bagai tergagap-gagap dengan jumlah peserta yang sangat banyak. Padahal seharusnya banyak peserta bisa menjadi “kekayaan” yang menguntungkan. Terdapat peserta kelas 3 PBI (Penerima Bantuan Iuran) sebanyak 96,5 juta orang, iurannya dibayar oleh negara melalui APBN. Serta sebanyak 38,8 juta peserta PBI yang ditanggung melalui APBD.

Sehingga sebanyak 135,3 juta peserta kelas 3, dipastikan tidak pernah telat membayar. Pada tahun 2019 anggaran “talangan” (sokongan pemerintah) mencapai Rp 40 trilyun. BPJS Kesehatan, bagai perusahaan BUMN terbesar di Indonesia. Seperti perusahaan yang dianggap “vital strategis” karena jumlah tenaga kerjanya sangat banyak. Dengan manajemen yang baik, bisa menempatkan modal pada usaha, dengan kecermatan tanpa risiko rugi.

Realitanya, BPJS Kesehatan selalu rugi. Sehingga dianggap perlu menaikkan iuran. Maka diterbitkan Perpres (Peraturan Presiden) Nomor 75 tahun 2019 menetapkan tarif iuran BPJS. Namun Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan uji materi terhadap Perpres tentang kenikan iuran BPJS. Kini pemerintah coba menerbitkan lagi Perpres Nomor 64 tahun 2020. Tetapi khusus peserta BPJS Kesehatan mandiri.

Kelas 1 bertarif Rp 150 ribu (naik 87,5%), kelas 2 menjadi Rp 100 ribu (naik 96%). Sedangkan kelas 3 akan menjadi Rp 35 ribu (naik 40%), tetapi pelaksanaannya ditangguhkan sampai tahun 2021. Bisa jadi, gugatan uji materi ke MA, akan ditolak. Karena nominal iuran golongan peserta BPJS mandiri merupakan kebijakan terbuka. Nominalnya disesuaikan dengan kepatutan pada waktu tertentu.

Namun berbagai kalangan mengkritisi Perpres tidak memiliki kepedulian terhadap krisis ekonomi dampak wabah virus corona. Karena seluruh masyarakat mengalami dampak (ekonomi) secara langsung maupun tidak langsung.

——— 000 ———

Rate this article!
Turun Kelas BPJS,5 / 5 ( 1votes )
Tags: