U-19, Ada Kalah Ada Menang

Selalu menang konon bukan pengalaman yang baik. Begitu yang diyakini pada paradigma ke-olahraga-an, terutama oleh para pelatih. Tetapi lebih banyak kalah dipastikan terdapat metode kepelatihan yang salah. Paradigma itu diyakini benar oleh Arsene Wenger, pelatih klub Arsenal (Inggris). Pelatih yang dijuluki “sang profesor” ini bagai jatuh-bangun meraih prestasi. Boleh jadi, paradigma itu yang diyakini pelatih timnas U-19 Indra Sjafri.

“Sang profesor,” sudah banyak melahirkan pemain berharga sangat mahal (dalam bursa transfer pemain Eropa). Ia tidak setuju dengan anggapan (dan tudingan) “tak berprestasi” terhadap pelatih (MU)  Manchester United, David Moyes. Walau selama kepemimpinan Moyes, MU beberapa kalah, kini terperosok pada peringkat ke-7 Liga Primer Inggris. Padahal selama 10 tahun terakhir MU selalu memuncaki klasemen, langganan juara liga Eropa pula.

Pengalaman kepelatihan klub-klub Eropa bisa menjadi teladan yang baik untuk timnas U-19. Ada saat menang dan menjadi juara, ada pula saat kalah. Prestasi juga memerlukan jeda rekreatif. Sir Alex Ferguson, membawa tropi Liga Primer 13 kali, Piala FA 5 kali, dan belasan tropi lainnya. Padahal ketika baru masuk ke Old Traford (base camp MU) November 1986, MU hanya klub papan tengah. Saat ini, MU memasuki jeda rekreatif prestasi,  mengalami banyak kekalahan. Dua diantaranya, yakni 8 April 2013 (1-2) dari Manchester City, dan 5 Mei 2013  dikalahkan Chelsea (0-1).

Memang selalu begitu dunia sepakbola. Kata orang, karena bola bulat, apapun bisa terjadi. Dan kekalahan bisa menjadi pengalaman terbaik untuk mengubah pola permainan maupun susunan personel skuad pendukung. Harus dipetakan dengan benar siapa melawan siapa di lapangan. Dalam hal ini pelatih harus mengerti benar kekuatan (dan keahlian) pemain lawan, satu per-satu.

Boleh jadi, itulah yang sedaang dilakukan oleh pelatih Indra Sjafri ketika manggung di lapangan Mandala Krida, Yogyakarta. Ia menurunkan beberapa pemain lapis dua timnas U-19 untuk ujicoba melawan tim Pra PON DIY. Hasilnya, timnas U-19 kalah 1-2 pada babak pertama. Dengan hasil itu Indra Sjafri lebih mengetahui skuad-nya. Lalu mengubah strategi. Hasilnya, diakhir laga timnas U-19 menang tipis 3-2.

Kalah, terbukti membawa berkah. Maka seyogianya timnas U-19 dicarikan lawan ujicoba yang lebih berkualitas. Misalnya klub papan atas pada Liga Super Indonesia dengan full-team (bukan tim yuniornya, seperti ketika ujicoba melawan Persiba Bantul). Kalah pun tidak masalah. Bertanding melawan tim Pra PON bisa menjadi awal uji petik, dan patut dilanjutkan. Antaralain melawan Pra PON Jabar atau Pra PON DKI Jakarta.

Bertanding di stadion Mandala Krida, juga memberi pengalaman lain. Saat itu lapangan seolah tak layak digunakan untuk pertandingan bertaraf nasional. Di lapangan ini, tidak ada garis pembatas sisi lapangan. Begitu pula garis kotak penanda area penalti juga tidak ada. Serta garis tengah berikut lingkar lapangan tengah yang biasanya berwarna putih, juga tidak nampak. Padahal, garis lapangan hukumnya wajib.

Indra Sjafri masih memiliki waktu delapan bulan sebelum bergelut dalam piala Asia U-19, dan piala dunia U-20 di Sydney 2015. Bahkan Indra Sjafri juga boleh menjumput pemain baru lagi. Termasuk personel terbaik Pra PON DIY dan propinsi lain yang seusia. Misalnya striker Martinus, yang sudah kondang di lapangan futsal seantero Yogya. Martinus mencetak dua gol ke gawang U-19. Dulupun, Evan Dimas juga dijumput dari skuad Pra PON Jawa Timur.

Pelatih sepakbola memiliki kondisi strategis secara ekonomi, sosial dan budaya. Yang berkelas dan dedikatif juga memperoleh penghargaan sosial, selain bayaran tinggi. Kalau gagal? Cuma dituntut mundur.

Rate this article!