UMKM Unbankable Rawan Terjerat Praktik Fintech Ilegal

Para pedagang di Pasar Turi Baru Surabaya rentan menjadi korban financial technology (fintech) ilegal bila tidak mendapatkan edukasi keuangan memadai.

(Dukung Pertumbuhan Berkelanjutan, OJK Dorong Edukasi dan Literasi)

Keterbatasan akses modal ke perbankan, membuat hadirnya pinjaman online bak dewa penolong bagi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang unbankable. Namun bila tidak hati-hati, pinjaman online justru bisa menjadi malaikat pencabut nyawa. Alih alih usaha berkembang, tetapi justru bisa bangkrut, plus tumpukan utang yang menghimpit.

Wahyu Kuncoro SN, Wartawan Harian Bhirawa

Lalu lalang pengunjung yang mampir ke stan baju muslim Nabila’s Collection, Jumat (25/10), belum satupun yang berujung transaksi. Tampilan stan berukuran (3 x 3) m yang berada di lantai 3 Pasar Turi Baru itu memang relatif tidak menonjol dibanding stan – stan lain. Selain desain stan yang ala kadarnya, jumlah koleksi yang dijualnya pun tidak selengkap stan di sampingnya. Akibatnya, pengunjungpun tidak banyak yang melirik koleksi yang dipajangnya.
“Memang tidak seramai yang lain, tapi inilah harapan saya yang terakhir untuk bisa menghidupi keluarga. Walau tidak banyak, setiap hari selalu ada yang beli,” kata Ny Susanti pemilik stan yang sejak sebulan lalu memilih menjaga sendiri stan yang buka sejak awal 2018 lalu. Menurut Susanti, keputusan untuk menjaga stan tersebut karena untuk menghemat pengeluaran.
“Dulu ketika usaha saya ramai, masih sanggup untuk membayar penjaga stan. Karena saya harus ngurus stan di beberapa mall lain. Bahkan kadang saya keliling jualan dengan mobil ke lokasi – lokasi yang strategis,” tutur Susanti. Namun, semua usahanya tersebut berangsur meredup sejak dirinya terjerat lilitan utang lewat pinjaman online.
“Awalnya, saya hanya iseng untuk coba coba cari pinjaman online yang berseliweran di akun istagram,” jelas Susanti. Namun, alangkah kagetnya, dari coba-coba iseng tersebut ternyata pinjamannya langsung disetujui dan cair.
“Tidak ribet, hanya pakai KTP dan langsung cair dalam hitungan menit. dalam semalam kadang saya bisa dapat pinjaman Rp10 juta dari beberapa aplikasi ,” jelas Susanti. Situasi mulai terasa berat ketika satu per satu pinjaman online itu jatuh tempo.
“Tenor pinjaman ada yang seminggu, 2 minggu hingga satu bulan. Dan bunganya sangat tinggi. Itulah yang kemudian membuat semua jadi berantakan. Akhirnya satu per satu aset usaha mulai stan sampai mobil saya jual untuk menutup utang online agar tidak terus membengkak,” tutur Susanti dengan mata menerawang.
Pengalaman tidak jauh beda juga dialami Fahrozi, penjaga stan yang hanya berjarak 2 stan dari Susanti. Namun yang dialami Fahrozi tidak separah yang menimpa Susanti.
“Kalau saya hanya sempat pinjam 2 aplikasi saja. Iya tergoda pingin HP baru,” aku Fahrozi. Namun akhirnya, tidak berlangsung lama HP baru dijual lagi karena takut berurusan dengan pinjaman online.
“Saya sempat menunggak beberapa hari. Namun malunya itu lho, karena semua saudara ditelpon oleh debt collector pinjmana online,” kata Fahrozi lagi.
Masih banyak lagi yang bernasib sama dengan yang dialami Susanti ataupun Fahrozi. Berharap pinjaman online bisa membantu namun ternyata justru berbuah malapetaka.
Wakil Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (Unair) Dr Nisful Laila menilai aspek perlindungan konsumen harus menjadi perhatian semua pihak seiring dengan menjamurnya perusahaan financial technology (fintech) yang melayani pemberian pinjaman dari pengguna ke pengguna atau peer to peer (P2P) lending.
“Penyebabnya, potensi fintech lending sangat tinggi untuk menjangkau masyarakat yang tidak bisa mengakses perbankan (unbankable),” jelas Nisful saat ditemui Bhirawa di kampus Unair, Senin (28/10) kemarin.
Secara khusus, Nisful juga mengingatkan saat ini perbankan Indonesia masih berada dalam channel tradisional dengan strategi bisnis yang masih konvensional. Pola pembiayaan atau pemberian pinjaman masih berbasis pada kolateral dengan persepsi perbankan saat ini masih melihat bahwa UMKM memiliki credit risk tinggi.
” UMKM justru harus diempower dan dibina dengan baik, dengan demikian ekonomi Indonesia bisa jauh lebih maju,” ujar Nisful. Lebih lanjut Nisful juga mengungkapkan, bahwa literasi keuangan masih rendah karena pihak UMKM kurang memiliki pemahaman, dimana mereka menjadi enggan datang ke bank. Hingga akhirnya permintaan terhadap UMKM relatif rendah padahal menurutnya sebanyak 80 juta UMKM membutuhkan dana setidaknya sebanyak USD165 miliar (setara Rp2,3 triliun). Di sisi lain, jumlah tenaga ahli di bidang fintech saat ini belum memadai.
“Karena revolusi ini terlalu cepat terjadi, regulasinya pun terlalu lambat untuk mengakomodasinya,” lanjutnya.
Menurut Nisful, kasus fintech ilegal muncul akibat rendahnya literasi digital. Konsumen tidak membaca syarat dan ketentuan yang berlaku. Jika membaca pun, mereka tidak paham isi dan substansinya.
“Terlebih lagi konsumen juga tidak paham data pribadinya dijadikan jaminan. Mereka bukan hanya menyadap nomor telepon, email atau alamat, tetapi juga bisa menyadap foto, video, dan segala macam yang dapat disebarkan sebagai jaminan,” papar dia.
OJK Dorong Edukasi dan Mitigasi
Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hendrikus Passagi mengungkapkan OJK selaku regulator di sektor jasa keuangan terus mendorong pertumbuhan industri peer to peer lending atau fintech lending untuk peningkatan inklusi keuangan khususnya perluasan akses permodalan UMKM. Untuk mendukung secara penuh pendanaan UMKM, OJK memiliki dua pilihan yaitu mendorong fintech lending meningkatkan kapasitas pendanaan produktif (kualitas) atau mendorong kemudahan pendaftaran fintech lending produktif secara masif (kuantitas).
“Berbagai upaya penguatan fintech lending juga sedang dilakukan OJK untuk mendorong pertumbuhan industri fintech lending antara lain Penyusunan peraturan teknis terkait pelaksanaan pendaftaran, perizinan, pengawasan, sistem monitoring online fintech lending, digital signature, dan dokumen elektronik, kemudian Pengembangan kolaborasi antara industri jasa keuangan dengan penyelenggara fintech lending untuk membangun dan memperku at ekosistem ekonomi digital,” kata Hendrikus saat dikonfirmasi Bhirawa lewat telepon Senin (28/10) sore kemarin.
Pemberdayaan ekonomi masyarakat, dengan optimalisasi teknologi tegas Hendrikus menjadi hal yang sangat penting. Baginya tidak bisa dipungkiri, cara ini akan bisa membantu pelaku usaha dan siapapun untuk bisa melakukan inovasi model bisnis yang kreatif. Hal ini didukung dengan pelaku ekonomi Indonesia, yang didominasi oleh Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
“Yang terpenting adalah bagaimana kita bersama-sama para pemangku kepentingan sektor keuangan dapat memberdayakan masyarakat, sehingga tercapai dua objektif. Pertama, akses pembiayaan jadi lebih terjangkau bagi para UMKM. Kedua, edukasi dari sisi kapasitas masyarakat,” papar Hendrikus lagi.
Terkait dengan perlindungan konsumen, OJK terus berupaya agar perusahaan-perusahaan fintech memprioritaskan aspek perlindungan konsumen. Dalam upaya melindungi konsumen, jelas Hendrikus, OJK telah menerbitkan berbagai peraturan, di antaranya Peraturan OJK (POJK) Nomor 77/POJK 01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
“OJK terus melakukan edukasi dan literasi supaya masyarakat tidak terlena oleh fintech ilegal yang tidak terdaftar OJK. Jadi, pilihlah fintech yang terdaftar, kenyataannya sekarang ada 119 fintech lending yang terdaftar,” ujar Hendrikus. Guna mengoptimalkan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan fintech dan melindungi konsumen, OJK memberlakukan pengawasan berbasis market conduct.
Menurut Hendrikus, masyarakat harus siap dengan tantangan dengan hadirnya industry 4.0. diantaranya adalah shifting di lapangan pekerjaan, harus beradaptasi dengan cepat, dan hilangnya privasi. Yang perlu diperhatikan oleh masyarakat, dengan hadirnya inovasi teknologi ini adalah fungsi pelayanan yang dikerjakan oleh masyarakat sekarang ini yang kemudian semua diambil alih oleh inovasi teknologi.
Kondisi tersebut lanjut Hendrikus akan membawa risiko adanya persaingan antara tenaga kerja dengan mesin. Untuk itu, Hendrikus mengingatkan agar dilakukan mitigasi secara lintas sektor dalam menghadapi risiko yang terjadi akibat revolusi industtri 4.0 ini khususnya yang terkait dengan jasa keuangan.

———– *** ————-

Tags: