Wacana Rektor Asing, Perlukah?

Belakangan ini, pemerintah lewat Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi(Menristek Dikti) M Nasir, mengeluarkan wacana terkait rencana merekrut rektor asing pada 2020. Menurut Pemerintah, langkah ini diambil demi meningkatkan kualitas pendidikan di Tanah Air. Kualitas perguruan tinggi Indonesia memang kurang membahagiakan.
Menurut QS World University Ranking, terdapat sembilan perguruan tinggi di Indonesia yang masuk dalam 1.000 universitas terbaik dunia. Namun tak ada satu pun universitas yang masuk dalam 100 besar. Posisi tertinggi ditempati oleh Universitas Indonesia pada peringkat 296, diikuti Universitas Gadjah Mada dan Institut Teknologi Bandung masing-masing di posisi 320 dan 331. Perguruan Tinggi Indonesia jumlahnya 4.700, yang masuk daya saing dunia hanya tiga. Dikatakannya ngeri sekali Indonesia itu, (pikiran-rakyat.com,22/7)
Menyikapai pernyataan yang demikian, apakah sudah dijamin bahwa orang asing lebih baik daripada orang Indonesia? Dengan demikian, peringkat universitas kita akan menembus 100 atau 200 besar WCU (World Class University). Apa benar? Pertanyaan-pertanyaan itu bisa disebut pertanyaan hipotetis atau sebuah harapan. Memang perlu diuji.
Rencana ini mengundang reaksi dari berbagai pihak. Pasalnya, implementasi peraturan Menristek dan Dikti Nomor 26 Tahun 2015 dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, semestinya mampu membendung laju liberalisasi asing, termasuk rektor asing.
Sebab, ketika posisi rektor perguruan tinggi sudah diliberalkan, kemungkinan besar akan banyak negara yang langsung menyerbu untuk mengambil peluang sebagai rektor asing. Dikhawatirkan, praktik liberalisasi berdampak pada sisi prosedur regulasi, di mana peran pemerintah sering dihalang-halangi untuk menetapkan kebijakan yang dapat mengurangi keuntungan dari liberalisasi. Untuk itu, pemerintah tidak perlu terburu-buru meliberalisasi pendidikan tinggi dengan mengangkat rektor asing.

Ani Sri Rahayu
Pengamat Politik Universitas Muhammadiyah Malang

Rate this article!
Tags: