Whisnu Sakti Buana Ketika Mengkomandoi PRRT yang Disegani

Surabaya, Bhirawa
Nama Whisnu Sakti Buana sebagai elit kader partai PDI Perjuangan melekat dengan sejarah panjang Perjuangan Rakyat untuk Reformasi Total (PRRT).

Proses regenerasi kepemimpinan dari Bambang DH kepada Whisnu di era-97, membuat PRRT kian menguat sebagai wadah para aktifis kampung, dan akademisi kampus yang berjuang dibawah higemoni orde baru, kala itu.

Sebagai organisasi eksternal PDI Perjuangan yang melegitimasi kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, komando Whisnu Sakti Buana menjadi pondasi yang kian menguat. Tidak hanya skala Surabaya, melainkan hingga Jawa Timur keseluruhan.

”PRRT adalah kawah Candradimuka-nya, para aktifis yang saat ini menjadi kader-kader PDI Perjuangan maupun menjadi Kepala Daerah baik Bupati atau Wali Kota di Jatim,” terang mantan Sekretaris PRRT Jawa Timur, Sukadar.

Memori Sukadar masih segar dalam ingatan tentang kiprah WS (Whisnu Sakti Buana) tatkala memegang tongkat komando yang dipercayakan. Legislator DPRD Surabaya ini, punya kesan mendalam tentang sosok putra mantan Sekjen DPP PDI Perjuangan, Ir Sutjipto ini.

Sebagai seorang Pemimpin PRRT, Whisnu adalah sosok yang mewarisi gaya kepemimpinan sang Ayah. Terlebih darah muda politisi yang kini menjabat sebagai Wakil Wali Kota Surabaya ini saat itu adalah sebagai Panglima di segala medan politik bagi PRRT.

Dikatakan Sukadar, meski organisasi tersebut diluar Partai namun barisan-barisan loyalis dan militant WS merupakan bemper yang berhadapan langsung dengan rakyat maupun penguasa.

Gerakan-gerakan dibidang kesehatan masyarakat, misalnya. WS aktif mengokomando adanya program kesehatan bagi warga secara gratis. ”Saya bilang warga Surabaya. Jadi bukan hanya Warga Pandegiling saja,” imbuh Sukadar.

Bahkan, dalam setiap adanya peristiwa bencana alam. Instruksi WS bagi seluruh anggota PRRT wajib untuk terjun langsung. Secara keseluruhan Jawa Timur sudah membasis, hingga wilayah Semarang, Jawa Tengah.

Dibidang perlawanan terhadap dominasi dan diktatorisasi orde baru, kala itu kata politisi yang akrab disapa Cak Kadar, WS menjadi Korlap langsung bersamanya.

”Waktu itu gencar-gencarnya kami menolak Rancangan Undang-undang Penanggulangan Keamanan Bahaya (RUU-PKB). Mas Inu, di garda terdepan. Bersama Saya dan seluruh elemen kami membentuk Front perjuangan bersama,” terang pengurus DPC PDI Perjuangan Surabaya ini.

Perjuangan PRRT menolak RUU-PKB ini bahkan masuk ke wilayah Ibu Kota, Jakarta. Aksi ratusan masa PRRT bersama elemen lain seperti GMNI, GMKI, dan kelompok Cipayung menggelorakan penolakan tersebut.

Buntutnya, WS dan Bambang DH bersama seluruh aktifis PRRT ditangkap dan diperiksa polisi di Polda Metrojaya. ”Saat itu mas Bambang bersama elemen mahasiswa, dan Mas Inu bersama dengan aktifis PRRT,” kenang Cak Kadar.

WS terkenang dalam ingatan Cak Kadar adalah Pemimpin yang berani. Dan tidak pernah mengorbankan anggotanya dalam situasi apapun. Termasuk nama besar Partai.

”Beliau kalau aksi berada didepan melindungi kawan-kawan, dan aksi-aksi PRRT atas nama organisasi tidak pernah membawa nama partai,” tegasnya.

Senada, Tokoh PRRT lainnya, Nugroho SW mengungkapkan jika pergerakan dari kelompoknya memiliki histori panjang. Wakil Wali Kota Surabaya Whisnu Sakti Buana pun Ia sebut sebagai pimpinan utama di PRRT.

“Peran Mas Whisnu itu sudah sangat panjang di PRRT. Waktu itu kami banyak sekali menggelar kegiatan untuk mewujudkan reformasi. Salah satunya dengan aksi turun ke jalan dan mimbar bebas rutin,” tambahnya.

Tidak sendirian, lanjut Nugroho, PRRT bergerak bersama dengan berbagai elemen masyarakat. “Aktivis-aktivis kampung dan kampus misalnya. Teman-teman mahasiswa itu rutin sekali menggelar rapat di posko PRRT di Pandegiling,” tegasnya.

“Tujuan kami apa? Tentunya kami ingin pertama ini pimpinan kami, Bu Mega, mendapatkan legitimasi yang sah. Kedua, ya untuk mewujudkan reformasi,” kata Nugroho.

Gerakan dari PRRT, menurut anggota DPRD Jatim ini, tidak selesai begitu saja usai reformasi terwujud. “Waktu itu di bawah kepemimpinan Mas Whisnu Sakti, baru kami banyak menggelar kegiatan sosial,” bebernya.

“Salah satunya adalah posko pengobatan gratis. Waktu itu, nggak seperti sekarang, belum banyak posko-posko pengobatan gratis,” pungkas Nugroho. (dre)

Tags: