1 Syuro, Budaya Beragama

Foto Ilustrasi

Kirab pusaka kerajaan keraton di seantero Nusantara, digelar pada perayaan tahun baru 1Syuro (1 Muharram 1439 Hijriyah). Pada beberapa keraton (Surakarta, Cirebon, dan Banten), perayaan ini telah dilakukan sejak akhir abad ke-17. Daerah-daerah lain (kesultanan Ternate, Tidore, Deli, dan Gowa-Makasar) dimulai pada pertengahan abad ke-18. Perayaan 1 Syuro, menandai lahirnya “Islam Nusantara,” komunitas (besar) budaya bersendi agama.
Komunitas besar budaya bersendi agama, terbentang mulai dari Miangas (Aceh) sampai pulau Rote (Nusa Tenggara Timur, NTT). Ditaksir meliputi lebih dari 200 juta jiwa. Perkembangan (paham) “Islam Nusantara” semakin pesat sejak dekade 1980-an. Ditandai dengan semakin meningkatnya pemahaman pluralisme (ke-bhineka-an). Hidup bersama saling menghormati. Paham “Islam Nusantara” terasa lebih teduh, sekaligus melindungi kalangan minoritas.
“Islam Nusantara” berakar pada metode dakwah Wali Songo di pulau Jawa, pada awal abad ke-15. Wali Songo, disebut sebagai Sunan (bahasa Jawa Susuhunan, orang yang sangat dihormati). Hampir seluruhnya merupakan ulama keturunan Kanjeng Nabi SAW (disebut habaib). Kecuali Raden Fatah (Sunan Demak), dan Raden Syahid (Sunan Kalijaga), blasteran Jawa dengan Arab. Keduanya, keturunan kerajaan Majapahit. Bahkan Raden Fatah, menjadi Sultan (raja) Demak (kelanjutan Majapahit).
Bersyukur Indonesia memiliki pemahaman “Islam Nusantara,” yang tidak “menghunus pedang” terhadap budaya. Bahkan meng-kreasi dakwah agama melalui altar budaya. Menjadi adat bersendi syara’. Hikmahnya, Islam dianggap pribumi, begitu pula pribumi identik dengan Islam. Konsep dakwah brilian ini tidak terdapat di belahan dunia yang lain. Hasilnya, tahun baru Islam (Hijriyah, 1 Muharram) menjadi “milik” pribumi, setelah diubah menjadi 1 Syuro.
Toh, tahun baru Islam (1 Muharram) bukan ajaran agama, melainkan budaya Arab (dan sejarah kalenderisasi). Sejak beribu tahun sebelum kelahiran Kanjeng Nabi SAW, bulan Muharram, sudah menjadi bulan awal tahun. Sedangkan Asyuro, sebenarnya merupakan hari ke-sepuluh dalam bulan Muharram. Asyuro, memiliki cerita otentik lebih banyak (tentang sukses nabi dan rasul Allah). Diantaranya, sukses nabi Musa a.s., menyeberangkan bani Israel. Juga keluarnya nabi Yunus a.s., dari perut ikan.
Dus, harus diakui, para Wali Songo, memiliki referensi ke-sejarah-an (dan ilmu keagamaan) lebih banyak dibanding tokoh-tokoh di jazirah Arab. Termasuk kisah tentang kerbau (kebo bule di keraton Solo), yang diberi nama kyai Slamet. Kerbau kyai Slamet dulu, juga memandu raja untuk mencari lahan dalam rangka pemindahan keraton. Itu mencontoh peristiwa Kanjeng Nabi Muhammad SAW mencari lokasi untuk pembangunan masjid Nabawi di Madinah, dipercayakan kepada onta Nabi SAW.
Merayakan 1 Syuro 1439 Hijriyah, kebo bule (kerbau putih), kyai Slamet telah digelar di Solo, Jawa Tengah. Arak-arakan menandakan dimulainya awal kalender awal tahun. Berbagai kerajaan menggelar pesta adat, menjamu rakyat. Awal bulan Syura menandai tahun baru adat, sekaligus tahun baru hijriyah (Islam). Perayaan yang disebut dengan grebek Sura, telah dijadikan agenda wisata berskala nasional dan internasional, terdaftar sebagai bulan kunjungan.
Kebo bule, hadiah dari Bathara Katong (kerabat Raden Fatah) bupati Ponorogo.   Diperkirakan saat ini turunan ke-100 dari kerbau pertama (tahun 1725). Harus diakui, kebo bule memiliki magnitude sebagai “bintang utama” ke-wisata-an. Sepekan akhir bulan September (2017) ini menjadi bulan budaya bersendi syara’.  Mayoritas suku di Indonesia merayakan pesta adat, grebek Suro.
Perayaan adat bukan hanya di Jawa, melainkan juga di Ternate (Maluku Utara), Lombok, Deli Serdang, serta di Sulawesi dan Kalimantan. Umumnya, grebek Sura merupakan pengungkapan rasa syukur kepada Allah. Sekaligus memohon keberkahan pada tahun yang akan dijalani.

                                                                                                              ———   000   ———

Rate this article!
1 Syuro, Budaya Beragama,5 / 5 ( 1votes )
Tags: