10 November Menjadi Hari Keberuntungan Salsabila

Elta Salsabila diapit adiknya, Azka Azkiyak Albar dan Aimana Asyrafil Bariyah.

Sidoarjo, Bhirawa
Banyak orang lahir bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan 10 November, namun menjadi langka bila lahir 10 November diterima masuk di ITS 10 November. Keberuntungan, Elta Salsabila yang lahir pada 10 November 1998 diterima masuk di ITS 10 November lewat jalur SBMPTN.
Diterima di ITS menjadi cita-cita dan harapan mahasiswa. Siapapun akan bangga diterima di ITS 10 November dan kebanggaan itu yang dirasakan Salsabila saat namanya tercantum sebagai mahasiswa baru yang diterima di ITS tahun ini. Pilihannya memilih ITS bukan karena ingin menyamakan dengan tanggal lahir, tetapi memang minatnya sejak awal ingin belajar desain grafis dan tempatnya yang tepat di ITS.
Elta Salsabila suka mencorat-coret kertas dan tanpa disadari lukisannya membentuk sebuah gambar. Gambar itu setelah dipotong-potong dengan cuter, bisa berbentuk sebuah bangunan.
Ketertarikannya pada desain kreatif akhirnya membulatkan tekadnya untuk mengikuti SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri) di ITS 10 November Surabaya. Salsabila diterima jurusan desain produk fakultas teknik sipil. Bapaknya yang anggota DPRD Sidoarjo, HM Taufiq,ulbar, kebetulan juga alumnus ITS. Namun Salsabila mengakui masuk ek ITS bukan karena dorongan orang tua. Tetapi karena menyesuaikan penelusuran minat dan bakat yang diikuti saat Bimbel di Surabaya. Sehingga dirinya mantap masuk di ITS.
Anak bungsu ini mengaku ingin cepat menyelesaikan bangku kuliahnya, dan prioritasnya akan mengeluti bisnis swasta. Usaha yang kelak dirintis sangat berhubungan dengan pendidikannya. Orang tuanya sudah menyiapkan anaknya untuk mengelola dan mengembangkan bisnis perumahan. Dunia kreatif sangat diminati, bahkan ketika di pesantren sudah me-lay out majalah intern.
Saat lulus SD, Salsabila masuk di pendidikan pesantren, awalnya mencoba di Ponpes Gontor putri di Mantingan, Kab Ngawi. Namun dirinya tidak betah dengan lingkungan dan meminta pindah di Assalam, Solo, Jawa Tengah. Pesantren mendididik anak menjadi mandiri, teguh, tabah dan tidak akrab dengan ponsel. Sebagai keluarga mapan, memang sulit orang tua melepaskan anak sekolah di tempat jauh untuk enam tahun lamanya.
Taufiqulbar mengatakan, saat melepas anaknya berangkat ke Ponpes dulu seperti berangkat haji. Saling tangis-tangisan. Di tahun pertama, berat untuk melepas anak seusia itu ke Solo. ”Anak saya juga menangis setiap hari karena kangen dengan orang tua dan adik-adiknya,” ucapnya.
Setiap minggu dirinya ke Solo menengok anaknya. Bahkan pernah pulang-pergi. Rekannya mengolok dirinya seperti sopir bus malam saja dalam satu hari pulang pergi ke Solo.
Dia mengakui anaknya sulungnya ini lahir dengan operasi caesar. Namun tanggal lahir tidak bisa diatur semuanya, soal urusan lahir dan mati itu kewenangan Allah. Kalau tanggal lahir bisa diatur manusia, banyak umat muslim pasti akan mengatur tanggal lahir anaknya disesuaikan dengan tanggal lahir Nabi Muhammad yakni tanggal 12 Rabiul Awal.
Pasti ada meleset dari rencana. Dokter dan pasien hanya bisa memperkirakan tanggal lahir, saja tetapi ketika sudah direncanakan ada saja melesetnya. ”Jadi kalau anak saya lahir 10 November tidak berarti itu karena keinginan saya tetapi karena kebetulan saja. Namun itu sudah jadi kehendak Allah,” ucapnya.
Dirinya merasa bersukur anaknya pernah mengenyak pendidikan pesantren selama enam tahun, walaupun di tahun pertama rasanya sesak memikirkan anak. Yang paling utama adlah anaknya tidak boleh menggunakan ponsel selama di pesantren. ”Ponsel itu setan nomor satu, banyak anak yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap Ponsel. Bahkan saat mandi maupun ke kamar kecil tidajk melepaskan ponselnya,” ucapnya. [hds]

Tags: