102 Kasus Sengketa Tanah Dilaporkan Komnas-HAM

Gubernur Jatim Dr H Soekarwo membuka saat membuka Rapat Koordinasi Pendataan, Inventarisasi dan Solusi Permasalahan Pertanahan di Jawa Timur.

(Gubernur Jatim Berharap Ada Penyelesaian Melalui Musyawarah) 

Pemprov Jatim, Bhirawa
Penyelesaian sengketa tanah kerap berakhir di hadapan mejahijau. Bahkan saat ini, terdapat 102 kasus sengketa tanah yang terjadi di 18 Kabupaten/kota di Jatim sedang dilaporkan kepada Komnas HAM RI dan memerlukan penyelesaian. Prinsip dasar dari sengketa tersebut kesemuanya bermuara pada siapa yang menjadi pemilik tanah tersebut.
Oleh Gubernur Jatim Dr H. Soekarwo diungkapkan, kasus atau sengketa pertanahan yang terjadi seharusnya juga bisa diselesaikan secara musyawarah. Bahkan dicarikan solusi agar melahirkan keputusan saling menguntungkan tanpa ada pihak yang dirugikan. “Dalam menyelesaikan sengketa tanah, jangan hanya menggunakan hukum secara mutlak, tetapi juga harus memperhitungkan kelangsungan kehidupan masyarakatnya,” pinta Gubernur Soekarwo saat membuka Rapat Koordinasi Pendataan, Inventarisasi dan Solusi Permasalahan Pertanahan di Jawa Timur, di Hotel Mercure Surabaya, Senin (29/10) malam.
Melihat kasus sengketa tanah, gubernur yang biasa disapa Pakde Karwo ini meminta agar historis kepemilikan tanahnya juga dilihat. Seluruh sejarah kepemilikan tanah di Indonesia tercatat di desa yang biasa disebut Kretek/sejarah tanah dan catatan tersebut tidak dipunyai BPN (Badan Pertanahan Nasional).
Pakde Karwo mencontohkan, banyak sekali sengketa tanah yang saat ini timbul karena tanah tersebut merupakan tanah bagian sejak zaman pendudukan Belanda. Pada saat itu masyarakat dibagikan tanah untuk dikelola, kemudian mereka membayar pajak kepada Belanda. Setelah Belanda pergi pada 1946, tanah-tanah tersebut dicatatkan ke desa hingga lahirlah Kretek dan keluarlah Leter C.
Selanjutnya pengelola tanah membayar pajak kepada pemerintah yang kala itu disebut Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) dan keluarlah Pethok D. Pengelolaan tanah tersebut secara turun-temurun dikelola hingga anak-cucu dan mereka tidak mempunyai bukti kepemilikan, hanya berupa bukti pembayaran pajak atau Phetok D.
Melihat sejarah itulah, Pakde Karwo meminta agar sengketa tanah yang sering terjadi di masyarakat hendaknya diselesaikan secara musyawarah dengan melihat historis kepemilikannya. Jangan sampai ada seseorang yang memiliki bukti baru kepemilikan bisa diloloskan oleh BPN, dalam hal ini sebagai regulator untuk mendapatkan sertifikat tanah. Orang miskin tidak punya bukti kepemilikan tanah. “Di sinilah pemerintah harus memperhitungkan kelangsungan kehidupan warganya. Kalau mereka terusir bagaimana lagi kehidupannya,” tambah Pakde Karwo.
Pada kesempatan itu, Pakde Karwo mengapresiasi kepada Komnas HAM RI yang mempunyai niat baik untuk ikut menyelesaikan sengketa tanah yang ada di Jawa Timur secara integral dengan merangkul semua stakeholder termasuk mengikutsertakan masyarakat untuk mencarikan solusi saling menguntungkan.
Pakde Karwo juga berharap agar lahan pertanian yang setiap tahun beralih fungsi perlu diterbitkan Perda di setiap Kabupaten/Kota di Jatim. Harapan itu untuk melindungi tanah pertanian yang berkelanjutan. “Tujuannya agar tidak beralih fungsi menjadi lahan perumahan ataupun industri,” ujarnya.
Akhir-akhir ini, sebut Pakde Karwo, banyak bermunculan kasus pertanahan yang terjadi di media massa. Secara makro, penyebab munculnya kasus pertanahan tersebut antara lain soal harga tanah yang meningkat dengan cepat, kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan haknya, serta iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah.
Terkait harga tanah yang meningkat cepat, Pakde Karwo meminta agar Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, agar diikutsertakan dalam proses penentuan harga tanah. Harapannya agar para mafia tanah tidak seenaknya menentukan harga tanah, seiring dengan tumbuhnya bangunan real estate.
Senada dengan Pakde Karwo, Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik mengatakan, persoalan sengketa tanah akan selalu dilakukan secara musyawarah dan mufakat. Lebih dari itu, hukum adat akan diikutsertakan dalam perundingan.
“Walaupun perbedaan yang ditimbulkan dalam sengketa tanah sangat tajam tetapi kesemuanya diharapkan dapat diselesaikan secara arif bijaksana dengan menyertakan buadaya dan kearifan lokal,” jelasnya.
Ahmad Taufan Damanik berharap, Rakor yang diselenggarakan dapat membedah kasus sengketa tanah yang ada di kabupaten/kota. Selanjutnya dapat memberikan informasi dan kemudian dicarikan solusi. “Masyarakat juga diajak bicara terutama para petani yang tanahnya bersengketa. Masyarakat marjinal diberikan ruang yang lebih luas untuk mendapatkan haknya,” pungkas dia. [tam]

Tags: