11 Sumur Gas di Sidoarjo Tak Produksi

Sidoarjo, Bhirawa
Pengembangan sumur gas baru harus dilakukan di Sidoarjo. Kalau tak
dilakukan, maka produksi gas di Sidoarjo akan semakin menipis, bahkan dalam beberapa tahun lagi
akan habis pada beberapa tahun lagi.

Karena tak ada pengembangan, produksi gas yang didapat saat ini hanya
bersumber dari  Kedung Banteng ( 3 titik ) dan Wunut ( 9 titik ) dengan total
produksi hanya 44 Milion Matric (MM) per hari. Sedangkan 11 sumur di
Wunut, Porong, sudah tidak produksi lagi, karena kandungan gasnya
sudah habis.

”Kandungan gas yang dimiliki Sidoarjo sebenarnya besar, tapi kalau
tak ada pengembangan sumur baru,  maka sumur yang lama akan bisa
berkurang, bahkan habis,” kata Kasi Sumber Daya Mineral Bidang ESDM
Dinas Koperasi Perindag ESDM Sidoarjo Agus Sudarsono ST, Selasa
(11/2) kemarin.

Agus mengakui, untuk pengembangan sumur baru lagi, Lapindo Brantas Inc
sebagai Kontraktor Kerjasama (KKS) masih terkendala. Sebab masyarakat
sekitar saat ini masih trauma dan khawatir terjadi musibah seperti
kasus lumpur Lapindo.

Dengan produksi total hanya 44 MM per hari, menurut Agus, gas yang
dihasilkan dari Sidoarjo itu memang kecil. Sehingga dana bagi hasil
yang diterima Sidoarjo pun otomatis juga kecil. Tapi meski
demikian, selama ini Sidoarjo juga masih dapat tambahan dana bagi
hasil migas dari kabupaten/kota di Jawa Timur.

Rekapan data yang diperoleh dari Dinas Pendapatan Pengelolah Keuangan
dan Aset (DPPKA) Sidoarjo, bagi hasil migas yang didapat Sidoarjo plus
dari kab/kota di Jatim adalah pada 2010 sebesar Rp 6,18
miliar, pada 2011 sebesar Rp 8,1 miliar, pada 2012 sebesar Rp 17,6 miliar dan pada
2013 sebesar Rp 14,572 miliar.

” Menurut saya  dana bagi hasil yang diterima Sidoarjo sudah adil.
Karena jumlah kapasitas  gas yang diproduksi dari Sidoarjo memang
juga kecil. Belum lagi dana bagi hasil yang diterima Sidoarjo itu
harus dipotong oleh cost recovery (biaya yang harus dibayarkan
pemerintah kepada KKS dan pembayaran pajak-pajak lainya,” jelas
Agus.

Mekanisme  aturan bagi hasil, kata Agus, juga  sudah jelas. Yakni,
69,5 % untuk pemerintah pusat, 5%, untuk alokasikan pendidikan dasar
dan untuk daerah 30 %. Sedangkan 30 % ini dibagi lagi yakni  6 % untuk provinsi, 12 %
untuk daerah penghasil dan 12 %  untuk kab/kota lain di lingkungan
provinsi Jawa Timur. [ali]

Rate this article!