16 Siswa SMPN 36 Surabaya Terdeteksi Berkebutuhan Khusus

2-Foto_tam (1)Surabaya, Bhirawa
Peringatan bagi orang tua, guru dan seluruh stake holder pendidikan agar lebih memperhatikan perkembangan peserta didiknya. Sebab, boleh jadiĀ  peserta didik yang selama ini dianggap tidak memiliki masalah psikologis ternyata justru berkebutuhan khusus. Seperti yang terjadi pada 16 siswa reguler di SMPN 36 yang baru-baru ini diketahui berkebutuhan khusus.
Ke-16 siswa tersebut setelah diikutkan tes psikologi di Inklusif Center Fakultas Psikologi Unair. Dari tes tersebut diketahui, lima siswa dinyatakan memiliki IQ di bawah normal dan sembilan siswa IQ normal namun memiliki gangguan perilaku. Sedangkan dua siswa lainnya masih terindikasi kuat karena belum menjalani tes.
Hal ini diketahui lantaran para guru curiga terhadap beberapa siswa selama proses belajar mengajar tidak mengalami perkembangan sama sekali. Ada pula yang bisa mengikuti pembelajaran tapi memiliki perilaku yang tidak wajar di sekolah.
“Setelah dites, ternyata benar. Sebagian terdeteksi slow learner dan dan beberapa mengalami retardasi mental atau tuna grahita,” ungkap Koordinator Inklusif SMPN 36 Surabaya Tjitjih Yuniarti saat ditemui, Rabu (17/9).
Tjitjih mengatakan, para siswa yang dinyatakan berkebutuhan khusus tersebut adalah siswa kelas 8 dan 9. Sebelumnya, mereka masuk dan mendaftar di sekolah tersebut melalui jalur reguler bukan jalur pendaftaran inklusif.
Karena itu pihak sekolah tidak berani menjustifikasi apakah para siswa ini benar-benar berkebutuhan khusus atau normal. “Tapi setelah lama dibiarkan, banyak guru yang mengeluh dengan siswa-siswa ini. Dari situ kita kemudian memberanikan diri untuk mengikutkan tes para siswa tanpa memungut biaya apapun dari wali murid,” ungkap dia.
Sampai saat ini, pihak sekolah sendiri belum memberitahu pihak orang tua. Bahkan langkah untuk memindah jalurkan siswa dari status reguler ke inklusif juga masih direncanakan oleh pihak sekolah. sebab untuk proses tersebut pihak sekolah perlu melaporkan ke orang tua dan Dinas Pendidikan (Dindik) Surabaya lebih dulu. Tjitjih yakin, pada saat orang tua diberitahu kondisi anak yang sebenarnya beberapa tidak akan bisa menerima.
“Tapi bagaimanapun respon orang tua nanti, kami tetap akan memberitahu hasil tes ini dalam waktu dekat,” tutur dia. Memindah jalurkan status siswa ini sangat penting menurut Tjitjih. Sebab, ini akan berpengaruh terhadap layanan pendidikan yang diperoleh anak di sekolah. Misalnya pembelajaran di resources room dan pendampingan oleh Guru Pendamping Khusus (GPK).
Ditanya bagaimana para siswa bisa diterima melalui jalur reguler? Tjitjih mengaku, Penerimaan peserta Didik Baru (PPDB) jalur umum hanya mengacu pada nilai Ujian Nasional (UN) siswa. Sehingga pihak sekolah tidak pernah mengetahui kondisi anak secara psikologis.
“Ini yang sudah kita tes baru kelas 8 dan 9. Bisa jadi di kelas bawahnya juga masih ada. Karena itu, kami akan terus memantau perkembangan anak didik di sekolah,” tutur dia.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Dindik Surabaya Ikhsan mengatakan, melihat kondisi anak didik yang demikian, pihak sekolah semestinya bisa langsung memberikan layanan khusus. Apalagi sekolah tersebut sejak awal telah berstatus sebagai sekolah inklusif. Sehingga penanganannya akan lebih mudah.
“Kecuali jika sekolah tersebut bukan sekolah inklusif, kita masih harus menyiapkan GPK dulu atau menarik siswa tersebut untuk ditempatkan ke sekolah inklusif di Surabaya,” kata dia.
Ikhsan mengatakan, untuk mendirikan sekolah inklusif di Surabaya Dindik tidak pernah asal mendirikan. Semua sarana prasarana dan sumber daya manusianya sangat diutamakan. Setelah semuanya siap, maka baru didirikan sekolah inklusif. “Saya yakin sekolah asalnya akan mampu menangani para siswa tersebut,” kata dia.
Apa siswa masih tetap bisa mengikuti UN jika beralih status menjadi inklusif? Ikhsan mengatakan, siswa inklusif tetap bisa mengikuti UN dengan persyaratan khusus. Diantaranya ialah rekomendasi psikolog dan IQ anak.
“Kalau IQ-nya masih nutut, dan perkembangannya di sekolah baik dengan dibuktikan hasil tes psikolog, maka siswa tetap bisa ikut UN,” pungkas Ikhsan. [tam]

Keterangan Foto : Salah seorang siswa inklusif di SMPn 36 mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia di ruang resources room dengan seorang GPK. [adit hananta utama/bhirawa]

Tags: