20 Tahun Berkutat dengan Uleg Oyot Bambu

Walau harus bersaing dengan blender, namun uleg oyot bambu produksi Karmu masih diminati warga.

Produk Tradisional yang Masih Mampu Melawan Teknologi
Kabupaten Bojonegoro, Bhirawa
Kecanggihan teknologi membuat banyak produk tradisional tergusur, tapi Karmu warga Desa Sarangan,Kanor di Bojonegoro tetap berupaya bertahan dan terus membuat dan menjual produknya ke masyarakat.
Mesin blander memang sangat efektif untuk menghancurkan dan melembutkan bumbu, tapi sebagian masyarakat masih banyak yang menggunakan uleg-uleg (ulegan) dan cobek untuk menghaluskan bumbu dapur  karena mereka percaya alat bumbu lebih sedap jika digerus dengan uleg-uleg bamboo.
Suara gemuruh mesin gerinda terdengar keras, disampingnya terlihat oyot bambu, tatal (limbah akar bambu), gergaji, parang, dan kipas angin. Lelaki itu bernama Karmu (60) pembuat uleg berbahan oyot bambu asal RT 03 RW 02 Desa Sarangan, Kecamatan Kanor.
Dengan trampil tanganya memoles dan menghaluskan uleg-uleg yang sudah hampir jadi. ”  ” Sejak 1987 hingga sekarang terus membuat uleg,” kata Karmu sambil menyelesaikan pekerjaannya.
Sambil bekerja ia bercerita kalau tertarik membuat uleg-uleg setelah  mengamati temannya yang sedang membuat uleg berbahan bambu. Setelah hampir seminggu Karmu mengetahui caranya. Kemudian memutuskan untuk membuat uleg dan diperjual belikan. ” Awal membuatnya, mampu membuat 100 uleg selama empat hari,” jelas Karmu.
Setelah itu, sebagian hasil uleg buatannya ia titipkan ke temannya untuk dijual. Sementara, sisanya dijual ke tetangga sekitar rumah. Dari situlah, Karmu memantapkan hatinya untuk memanfaatkan oyot bambu untuk dijadikan uleg.  “Dulu itu cara menghaluskan uleg yang setengah jadi dengan amplas, sekarang pakai mesin gerinda,” ucapnya.
Hasil uleg buatan Karmu, terasa halus dan memiliki keunikan tersendiri. Sebab, setiap uleg memiliki ornamen (serat) bonggol bambu berbeda. Meski ia tidak mengetahui nama ornamennya, tapi uleg buatan Karmu terlihat unik dan memiliki nilai jual. “Bahan dasarnya tidak beli, hanya izin mengambil dari pemiliknya,”ujar Karmu.
Sementara pemasaran di Bojonegoro meliputi, pasar tradisional Kedungadem, pasar Sumberrejo, pasar Bungkal, Baureno, dan pasar tradisional Sugihwaras. Pengiriman uleg ke pasar tradisional itu seminggu dua kali. Sekali kirim 100 hingga 150 uleg yang sudah jadi ia kirim. Pengiriman tersebut tergantung permintaan. Meski demikian, setiap hari Karmu produksi uleg. Harga per uleg cukup terjangkau. “Dengan uang Rp 3.000 sudah dapat uleg,” ujarnya sembari tersenyum.
Selain mendapatkan akar bambu dari desanya. Ia mencari akar bambu hingga ke Desa Gunungsari Baureno. Sekitar pukul 05.00 Karmu berangkat membawa peralatan untuk mengambil akar bambu hingga pukul 13.00. Alat-alatnya itu seperti, parang, gergaji, gancu, dan karung. Selama delapan jam itu, paling banyak ia mendapatkan seratus oyot bambu.
“Ya paling sedikit dapat 60 akar bambu,” terangnya.
Untuk mengambil oyot bambu, tidak semudah yang dibayangkan. Karmu harus mengeluarkan tenaga eksatra untuk menggali dan memotong bonggol babu yang berada didalam tanah. Akar bambu hanya berada di bawah bambu pring (barongan). Untuk mengeluarkan bonggol bambu, terkadang ia membutuhkan waktu selama dua puluh menit.  “Tapi kalau kebetulan mudah, sepuluh menit sudah bisa diambil,” ujarnya.
Selama membuat uleg berbahan akar bambu dari dulu hingga sekarang, yang menjadi kendala adalah tenaga ekstra untuk mengambil akar bembu dari dalam tanah. Sebab, kata Karmu, jika tidak menggunakan tenaga ekstra, tidak bakal bisa mengeluarkan akar bambu dari dalam tanah. “Semakin hari semakin tua, tenaga pun semakin berkurang, itulah yang menjadi kendala,” pungkasnya.
Tak seperti kayu dari batang pohon oyot bambu lebih keras dan tahan goresan, sehingga membuatnya awet konon hasil ulekannya pun lebih cepat dan lebih halus. Itulah sebabnya Karmu bersikerap tetap memakai Oyot bambu sebagai bahan dasar ulekan buatan tangannya, meskipun untuk mengambil oyot bambu tidaklah mudah. [Achmad Basir]

Tags: