2019, Perempuan Diharapkan Isi Parlemen 30 Persen

Pemprov Jatim, Bhirawa
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise mengharapkan keterwakilan perempuan di parlemen dapat menduduki 30 persen dari kursi yang tersedia pada Pemilu 2019. Sebab selama ini masih terlihat kesenjangan yang cukup tinggi antara laki-laki dan perempuan.
“Laki-laki masih mendominasi kursi di tingkat pusat, provinsi sampai kabupaten/kota,” kata Menteri Yohana, Minggu (25/2).
Dia mengemukakan, keterwakilan perempuan masih jauh tertinggal yakni di lembaga legislatif pusat/DPR saat ini baru 17 persen, di tingkat provinsi 16 persen dan kabupaten/kota baru 14 persen. “Saya mengharapkan pada 2019 nanti, perempuan sudah harus menduduki posisi 30 persen,” ucapnya.
Ke depan, Kemen PPPA meminta semakin banyak kaum perempuan yang berani bersuara dan berani untuk melibatkan diri, mendaftarkan diri duduk di parlemen. Yohana berpandangan, sejumlah kendala yang dihadapi perempuan untuk terjun dalam bidang politik karena budaya patriarki yang cukup tinggi, sehingga kaum laki-laki masih menunjukkan kekuatannya untuk menduduki posisi strategis.
“Akibatnya, perempuan merasa pesimistis untuk maju, selain perempuan merasa sulit untuk mendapatkan uang guna mencalonkan diri. Selain itu, kaum laki-laki juga masih menganggap bahwa perempuan belum mempunyai kualitas untuk menduduki jabatan politik di parlemen,” ujarnya.
Menurut Yohana, dengan adanya pandangan seperti itu, seharusnya menjadi masukan bagi kaum perempuan untuk bangkit dan melawan stigma negatif tersebut.
“Sudah saatnya kita mengangkat suara. Kita harus menghancurkan rasa diam kita dan mengangkat isu-isu kaum perempuan dan anak-anak ke permukaan,” katanya.
Hal senada disampaikan Ketua Umum Kaukus Perempuan Politik Indonesia Dwi Septiawati Djafar yang mengatakan kaum perempuan masih dihadapkan pada sejumlah persoalan untuk terjun di dunia politik. Menurut Dwi, masih ada kendala psikologis seperti rasa kurang percaya diri, perasaan takut, hingga permasalahan dukungan keluarga.
Selain itu, ada kendala kultural bahwa perempuan tidak cocok menjadi pemimpin. Inilah yang banyak yang dijadikan cara berpikir masyarakat yang selanjutnya menganggap sebagai larangan. “Oleh karena itu, masih diperlukan proses edukasi bahwa sesungguhnya tugas perempuan dalam politik itu berkontribusi untuk perubahan dan perbaikan masyarakat. Selain diperlukan dorongan regulasi yang lebih kuat,” ujarnya. [iib, cty]

Tags: