Kota Probolinggo, Bhirawa
USAID menyebut ada 4 kelurahan Kota Probolinggo minim jamban. Pemerintah Kota (Pemkot) setempat kemudian menargetkan wilayahnya bebas dari buang air besar sembarangan (BABS) atau 100 persen open defecation free (ODF).
Berdasarkan data Bappeda Litbang, saat ini masih ada 7 persen warga Kota Probolinggo belum terakses sanitasi layak. Warga ini masih membuang limbah rumah tangga secara sembarangan, termasuk ke sungai. Terutama dalam urusan buang air besar sembarangan. Tentunya persentase akses warga ke sanitasi layak lebih tinggi, mencapai 93 persen.
Behaviour Change/Marketing specialist USAID IUWASH PLUS Regional Jawa Timur, Ratih Dewi menyebut angka 7 persen warga tidak terakses jamban ini, pada takaran permukaan bisa dikatakan kecil. Tetapi jika dihitung dari jumlah penduduk, angkanya cukup besar. Dengan jumlah penduduk mencapai 235.440 jiwa (Data Dispendukcapil 2017), maka sebanyak 16.481 jiwa penduduk tidak terakses jamban.
“Termasuk warga yang dekat sungai dan menggunakan jamban ‘helikopter’. Mereka termasuk warga yang tidak terakses jamban. Tidak terpenuhinya sanitasi yang layak, maka warga membuang limbah rumah tangga, termasuk tinja ke sungai. Dampaknya selain pencemaran sungai, juga terjadi penyebaran penyakit,” terang Ratih, Kamis 1/8.
Di Kota Probolinggo, USAID IUWASH PLUS menegaskan, ada beberapa kelurahan yang perlu ditingkatkan akses jambannya. Yaitu, Kelurahan Jrebeng Lor, Kedunggaleng, Kanigaran, dan Kebonsari Kulon. Sementara kelurahan yang cukup baik sanitasinya adalah Kelurahan Kebonsari Wetan. Banyak pengembangan perumahan baru di Kebonsari Wetan, dilengkapi dengan fasilitas sanitasi.
“Ada berbagai alasan kenapa warga belum terakses sanitasi. Pertama, karena memang tidak mampu dari segi ekonomi untuk membangun jamban. Kedua, menganggap jamban bukan kebutuhan yang penting. Buktinya ada yang punya sepeda motor dan HP, tapi tidak punya jamban,” tandas Ratih.
Kepala Bidang Prasarana dan Pengembangan Wilayah Bappeda Litbang, Ari Puspita mengakui, sebagian warga belum terakses jamban atau sarana dan prasarana sanitasi lain, di antaranya mindset masyarakat, yang masih menganggap bukan kebutuhan utama. “Salah satu kendala masyarakat untuk punya jamban adalah biaya. Perlu strategi mengenai pembiayaan ini,” katanya.
Ia menjelaskan untuk pembuatan jamban paling tidak dibutuhkan biaya Rp2 juta sampai Rp3 juta. “Untuk itu, kami melakukan tahapan identifikasi stakeholders yang bisa dilibatkan dalam proses pembiayaan. Mulai dari swasta maupun lembaga keuangan,” ungkapnya.
Sisa 7 persen itu, menurut Ari, dapat terentas dari problem sanitasi pada akhir tahun 2019. Artinya pada awal 2020 nanti Kota Probolinggo, ditargetkan sudah 100 persen open defecation free (ODF) atau bebas dari buang air besar sembarangan.
Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinkes Kota Probolinggo NH Hidayati mengatakan, sanitasi di Kota Probolinggo belum 100 persen layak. Termasuk belum memiliki jamban. Kondisi ini menjadi persoalan bersama. Karena sanitasi yang tak layak ataupun tidak memiliki jamban dipastikan akan cemari air bersih.
“Dari 29 kelurahan di Kota Probolinggo, ada 10 Kelurahan yang sudah ODF (open defecation free) atau orang buang air besar tidak di sungai lagi. Di antaranya, Kelurahan Pilang dan Ketapang,” ujarnya.
Hidayati menjelaskan, dibutuhkan kesadaran masyarakat untuk berprilaku sehat. Karena tidak sedikit warga yang memiliki jamban, tapi tidak memanfaatkannya. Artinya, mereka masih belum berperilaku bersih dan sehat. “Indikator ODF itu, jika warga tidak ada lagi buang air besar sembarangan,” katanya.
Wawali HM Saufis Subri, menegaskan, kalau biasanya Pemkot Probolinggo bersikap persuasif jika menyaksikan buruknya sanitasi, kali ini bersikap lebih keras. Seperti yang terlihat di lingkungan RT 04 RW 01, Kelurahan Pilang, Kecamatan Kademangan, Pemkot yang langsung kami pimpin, melakukan pembongkaran jamban helikopter.
Jamban di atas sungai itu terpaksa dibongkar karena dinilai tidak sehat dan tak indah dilihat. Apalagi di dekatnya sudah ada WC umum yang dilengkapi instalasi pembuangan air limbah (Ipal) komunal. “Tindakan represif tersebut untuk menciptakan Kota Probolinggo yang lebih baik dari sisi kesehatan dan lingkungan. Sehingga jamban di atas sungai tersebut harus dibongkar,” tegas Wawali Subri.
Subri berpesan, agar masyarakat yang biasa nongkrong di atas jamban helikopter” beralih ke WC. Apalagi sudah ada Ipal komunal, yang bisa dipakai bersama-sama, tambahnya.(Wap)