2024, Politik Identitas, dan Ormas Islam

Oleh :
Baiturrahman
Mahasiswa Magister Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta

Meskipun 2024 belum tiba, mesin politik (partai politik) untuk pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia sudah mulai menyala. Pasalnya beberapa bakal calon presiden pengganti Joko Widodo untuk tahun 2024 sudah mulai muncul ke tengah publik, meskipun ini hanya berdasarkan hasil survei. Nama-nama bursa calon presiden tersebut di antaranya Anies Baswedan, Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, Puan Maharani, Ridwan Kamil, Erick Tohir dan lain sebagainya.

Bahkan manuver politik yang dilakukan partai untuk mendobrak elektabilitas calon presiden dari partainya sudah mulai terlihat. PDIP misalnya yang diduga mengusung Puan untuk presiden 2024 mulai mencoba mendarat untuk mendapatkan simpati rakyat. Aksi bagi-bagi sembako bergambar Puan yang dilakukan anggota DPR dari Fraksi PDIP adalah salah satu bentuknya. Aksi ini tidak bisa hanya dilihat sebagai aksi kemanusiaan semata, tapi juga bisa dilihat adanya muatan politik di dalam gerakan tersebut. Belum lagi baliho-baliho bergambar calon presiden yang diusung dari berbagai partai mulai ditancapkan di berbagai daerah di Indonesia.

Aksi-aksi tersebut tentu saja mengindikasikan adanya dinamika kontestasi politik untuk memperebutkan kursi orang nomor satu di Indonesia. Bagaimanapun jabatan presiden memang menjadi jabatan yang paling seksi untuk dilirik dan diperebutkan oleh partai politik. Sebab jabatan tersebut akan menentukan pendiasporaan kader-kadernya di dalam tubuh pemerintahan selama lima tahun ke depan, plus elektabilitas partai yang semakin tinggi.

Dinamika politik yang demikian, memang wajar di negara yang menganut paham demokrasi seperti Indonesia ini. Namun kontestasi ini juga perlu diimbangi dengan etika dan moral dalam berdemokrasi. Jangan sampai euforia pesta demokrasi yang seharusnya menyenangkan justru menjadi sentimen antar kelompok masyarakat yang menegangkan; polarisasi cebong versus kampret, Islam versus komunisme yang masih ada sampai hari ini adalah salah satu hasil dari kontestasi Plipres tahun 2019 yang lalu. Ini juga membuktikan sebetulnya identitas selalu menjadi alat politik yang dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok tertentu terutama ketika perhelatan Pemilu Raya di negeri ini.

Aroma adanya politik identitas di tahun 2024 mendatang, nampaknya juga sudah mulai terendus. Misalnya survei Indikator Politik Indonesia pada November 2021 yang menggambarkan adanya tren populisme Islam yang terpolarisasi akibat adanya dua tokoh populis yang masuk dalam bursa calon presiden 2024, yaitu Anies Baswedan dan Prabowo Subianto. Terdapat indikasi yang kuat bahwa dukungan terhadap Prabowo Subianto (23,7%) menurun hal ini karena kelompok populis mulai mengalihkan pilihannya ke Anies Baswedan (15,1%) terutama ketika Prabowo Subianto mulai merapat ke pemerintahan Joko Widodo dan menjabat sebagai Menteri Pertahanan Kabinet Indonesia Maju (Lihat: Media Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, 2021).

Untuk sekadar merefleksikan ke belakang, ketika Pilpres tahun 2019, dua calon presiden Indonesia yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto berjanji untuk tidak menggunakan politik identitas ketika kampanye demi mendapatkan suara rakyat. Namun kenyataannya di lapangan, suara-suara yang menggunakan sentimen identitas baik ras, suku, dan agama justru dilakukan oleh simpatisan (mungkin juga buzzer) calon yang diusung. Misalnya isu “Jokowi PKI, Kristen, antek Tiongkok” atau “Prabowo tak bisa sholat,” isu Prabowo yang diungki terkait keterlibatannya terhadap orang-orang hilang pada tahun 1998 dan lain sebagainya kerap dimainkan massa pendukung dua calon tersebut. Ini membuktikan baik Jokowi maupun Prabowo, saat itu jelas tidak bisa mengontrol anggotanya untuk tidak bermain-main dengan identitas tertentu.

Kita juga masih ingat pada perhelatan Pilgub DKI Jakarta tahun 2016 di mana sentimen keagamaan dimainkan oleh pendukung Anies dan Ahok. Pilgub ini bahkan sampai menimbulkan demonstrasi besar-besaran berdalih membela agama yang disebut oleh sebagian kelompok Islam sebagai “Aksi Bela Islam 212” yang berjilid-jilid. Akibatnya, kemenangan Anies dianggap sebagai kemenangan yang diraih dengan menggunakan politik identitas untuk mendobrak simpati dan suara rakyat Jakarta.

Posisi NU dan Muhammadiyah

Bagaimana posisi NU dan Muhammadiyah? Saya kira penting untuk melihat posisi dua organisasi Islam mainstream (arus utama) ini di dalam perhelatan politik lima tahunan ini ke depan. Sebab bagaimanapun NU dan Muhammadiyah punya modal sosial yang cukup potensial untuk memenangkan salah satu calon di Pilpres 2024.

Namun, meskipun dua organisasi Islam ini punya potensi yang cukup besar dan basis massa yang banyak, akan tetapi secara keorganisasian NU dan Muhammadiyah berkomitmen untuk tidak terlibat dalam lingkaran politik praktis. Misalnya pernyataan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) KH. Yahya Cholil Staquf periode 2021-2026 pengganti KH. Said Aqil Siroj, menegaskan agar NU kembali kepada Khittah 1926, yang menjadi spirit berdirinya organisasi ini. Gus Yahya (sapaan akrabnya) seolah-olah memberi sinyal merah kepada PKB dan juga memberi garis tegas hubungan NU dan PKB, bahwa NU tidak boleh menjadi alat politik PKB (cnnindonesia.com, 2021).

Demikian juga dengan Muhammadiyah, posisi organisasi ini tegas hubungan antara organisasi dengan partai politik. Meskipun PAN lahir dari rahim kader Muhammadiyah, tetapi hubungan PAN dan Muhammadiyah tak berarti menyatu secara keorganisasian. Hal ini secara tegas dituangkan dalam Khittah Denpasar tahun 2002 tentang kehidupan berbangsa dan bernegara, bahwa Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak memiliki hubungan organisatoris dengan kekuatan politik atau organisasi manapun. Seruan menolak agar Muhammadiyah secara keorganisasian tidak mendukung Amin Rais ketika menjadi calon Presiden RI tahun 2004 misalnya, pernah disuarakan oleh sekelompok anak-anak muda Muhammadiyah yang tergabung dalam Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) (Burhani: 2005). Komitmen ini masih terus dipegang oleh Muhammadiyah hingga hari ini.

Komitmen ini perlu senantiasa dipelihara oleh dua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini. NU dan Muhammadiyah harus menjadi organisasi garda terdepan dalam menjaga dan merawat kebinekaan, persatuan, dan kerukunan antar umat/kelompok-kelompok masyarakat di Indonesia. Keterlibatan NU dan Muhammadiyah dalam lingkaran politik praktis akan mengancam tidak hanya posisinya sebagai organisasi keagamaan, melainkan juga integritas bangsa Indonesia. Sebab dua organisasi ini dipercaya sebaga penjaga gerbang kedaulatan bangsa Indonesia. Wajah Indonesia dan Islam Indonesia bisa tercermin dalam gerakan dan langkah dua organisasi ini ke depan, terutama dalam mengawal Pilpres tahun 2024 mendatang.

———– *** ———–

Tags: