3 Ribu Lulusan Perawat di Jatim Terancam Menganggur

2-perawatSurabaya, Bhirawa
Menjamurnya jurusan perawat di Jatim membuat beban tersendiri bagi para lulusannya. Setidaknya 3000 lulusan perawat di Surabaya diperkirakan terpaksa gigit jari lantaran tidak terserap dalam lapangan pekerjaan.
Berdasarkan data Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Surabaya, tahun 2014,kurang lebih 3.000 tenaga perawat yang belum mendapatkan pekerjaan. Jumlah tersebut terus naik, jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Pada tahun 2013, jumlahnya sekitar 2.350 alumnis. Tahun 2012, jumlahnya sekitar 2.000 tenaga perawat. Dari total lulusan itu, yang mendapatkan pekerjaan kurang dari sepuluh persen. Sedangkan, yang terserap sebagai pegawai negeri sipil (PNS) tidak sampai satu persen.
Menurut Ketua PPNI Surabaya, Misutarno, banyaknya jumlah tenaga perawat yang menganggur di Surabaya ini akibat menjamurnya sekolah kejuruan perawat yang berdiri di Surabaya dan Jatim.
Parahnya, dari jumlah itu, banyak sekolah keperawatan yang hanya mementingkan keuntungan bisnis saja. Tapi, persyaratan yang dimiliki oleh lulusan perawat minim.
“Banyak sekolah perawat mengabaikan kualitas siswanya.
Mereka hanya mementingkan bisnis. Akibatnya, kemampuan sebagai tenaga perawat kurang.Sehingga, mereka tidak terserap di dunia kerja,” ungkapnya,
Dijelaskannya, selama lima tahun terakhir, jumlah sekolah perawat di Surabaya tumbuh dengan pesat. Saat ini, setidaknya Surabaya memiliki 20 sekolah keperawatan. Padahal,total di Jatim terdapat 55 sekolah perawat jenjang program diploma tiga (D3) dan jenjangprogram strata satu (S1).
Lima di antaranya berstatus negeri. Sedangkan, sisanya merupakan sekolah keperawatan swasta. “Sejak tahun 2008, sekolah keperawatan mulai menjamur. Namun, hal itu tidak diiringi mutu yang memadai,” ungkapnya.
Misutarno mengatakan, program pondok kesehatan desa yang telah dicanangkan, belum memberikan dampak yang signifikan. Sebab, target implementasi program ponkesdes tersebut adalah lima ribu perawat dapat terserap.
Namun, langkah ini dirasa masih belum cukup. Sebab, jika dibandingkan dengan perawat yang menganggur selisihnya masih jauh. Selain itu, lanjut Misutarno, ponkesdes juga masih meninggalkan masalah.
Selain itu juga faktor pengajian tenaga perawat. Menurutnya, gaji yang diperoleh hanya Rp 500 ribu per bulan. Itu pun hasil sharing antara pemerintah provinsi dengan pemerintah daerah.
Belum lagi, pembayaran gaji sering menunggak dengan potongan pajak lima persen. Bahkan, kesejahteraan perawat, terutama untuk mereka yang bekerja di rumah sakit swasta juga masih memprihatinkan. “Ke depan, kami akan meminta Kementerian Pendidikan untuk memperketat pemberian izin pendirian sekolah keperawatan yang minim kualitas,” ungkapnya.
Sementara itu salah satu alumni STIKES Yarsis, Maria mengaku, dirinya tidak kuatir dengan banyaknya alumni yang menggangur. Pengangguran ini terjadi di daerah atau kota besar di Surabaya dan sekitarnya. ”Saya ini orangluar Jawa (NTT, red) disana profesi perawat sangat dibutuhkan,” jelasnya. [dna]

Keterangan Foto : Berpenghasilan rendah ternyata tak menyurutkan untuk mendaftar ke sejumlah sekolah perawat di Jatim.

Tags: