5 Mahasiswa Terluka, Armuji Tolak Tandatangani Petisi

Salah satu mahasiswa mengalami luka pada pipi sebelah kiri diduga terkena tongkat polisi disela aksi penolakan RUU MD3 di DPRD Kota Surabaya, Senin (19/2) kemarin. [Gegeh Bagus Setiadi]

Aksi Penolakan Revisi UU MD3 di Surabaya Berakhir Ricuh

Surabaya, Bhirawa
Aksi penolakan Revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) oleh mahasiswa di DPRD Kota Surabaya berakhir ricuh, Senin (19/2) kemarin. Kericuhan ini lantaran Ketua DPRD Kota Surabaya Ir Armuji tidak memberikan kepastian mendukung atau tidak penolakan tersebut.
Suasana semakin memanas ketika politisi dari PDI Perjuangan meninggalkan puluhan mahasiswa dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Surabaya dan menolak menandatangani petisi menolak yang diajukan oleh mahasiswa.
Aksi saling dorong antara mahasiswa dengan polisi tak terhindarkan. Bahkan beberapa provokator aksi pun sempat diamankan agar bisa meredam bentrokan. Aksi berlanjut dengan memblokir Jalan Yos Sudarso depan Gedung DPRD Kota Surabaya.
Ketua Pengurus Cabang PMII Surabaya Fathur Rosi dalam orasinya mengatakan bahwa pengesahan revisi UU MD3 adalah suatu bentuk prisai baru untuk para koruptor agar leluasa untuk membuat kebijakan secara sewenah-wenah.
“Kami menolak Keras RUU MD3 karena sudah menyalahi Amanat Demokrasi. Pengesahan ini terkesan sangat cepat, yang kita anggap sebagai alat untuk persiapan menjelang akhir periode atau pun menjelang pesta demokrasi 2019,” teriaknya dihadapan Armuji.
Menurut dia, banyak sekali ketimpangan dalam revisi UU tersebut. Dari hasil rapat paripurna akan menjadikan DPR sebagai Lembaga super power yang sulit disentuh oleh proses hukum.
Fathur melanjutkan, anggota DPR tidak dapat diperiksa tanpa adanya izin Presiden dan pertimbangan dari MKD. Hal itu tertuang dalam Pasal 245. Selain itu, kewenangan DPR diperkuat dalam Pasal 74 yang mengatur wewenang memberikan rekomendasi dan berhak melayangkan hak interpelasi, hak angket, serta hak menyatakan pendapat dan mengajukan pertanyaan bila rekomendasi itu tak dilaksanakan.
“Sejalan dengan itu, kami mendesak presiden mengeluarkan Perpu Merevisi Pasal -pasal yang mengandung kontroversial didalam UU MD3,” paparnya.
Fathur mengutarakan bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) juga bisa mengambil langkah hukum apabila ada yang merendahkan kehormatan Dewan atau anggotanya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 122 huruf K. Berikut adalah kutipan pasal tersebut.
“Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR,” kutipnya.
PC PMII Surabaya, kata dia, menegaskan bawasanya revisi UU MD3 ini terkesan otoriter dan anti kritik, sehingga cenderung menggambarkan bahwa demokrasi telah dinodai di Indonesia oleh lembaga negara sendiri.
“Kriminalisasi terhadap masyarakat yang kritis, ketimpangan penegakan hukum, adalah fenomena yang akan terjadi dimasa yang akan datang seiring dengan disahkannya Undang-undang No. 17 Tahun 2014 tentang MD3,” terangnya.
Dari hasil koordinasinya bersama rekan aksinya, Fathur menyebutkan sedikitnya ada lima mahasiswa yang terluka akibat gesekan dengan pihak kepolisian. “Kami meminta Armuji bertanggung jawab disini,” pintanya.
Sementara, Ketua DPRD Kota Surabaya Ir Armuji mengatakan bahwa pihaknya selalu mendukung setiap langkah-langkah mahasiswa. Hal ini disampaikan dihadapan para mahasiswa di halaman Kantor Dewan menegaskan pendukung aksi penolakan tersebut.
“Kita setuju dengan apa yang dituntut para mahasiswa. Apa yang sudah diputuskan oleh DPR juga ditolak oleh sejumlah elemen dan sudah diajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan judicial review,” tegas Armuji.
Tapi politisi PDIP itu enggan ketika didesak untuk menandatangani petisi penolakan yang diajukan para mahasiswa. Penolakan ini membuat situasi kembali memanas seiring dengan niat para mahasiswa yang memaksa masuk kantor Dewan. Aksi ini berhasil dicegah aparat keamanan.
Aksi berlanjut ricuh, ketika para mahasiswa berniat memblokade jalan Yos Sudarso dengan membakar ban bekas. Tapi aksi ini lagi-lagi bisa dicegah ratusan aparat polisi yang sejak pagi berjaga di sekitar gedung Dewan. Satu mahasiswa ditangkap aparat, sedangkan satu lagi mahasiswa pingsan, dan seorang lainnya terluka akibat pukulan pentungan aparat.

Kriminalisasi Demokrasi
Pengesahan Undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3 terus mendapat tentangan. Tidak terkecuali, anggota DPD-RI, Drs H.A. Budiono, M.Ed yang menilai dengan disahkannya revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 merupakan bentuk kriminalisasi oleh DPR terhadap suara rakyat yang kritis.
“Revisi Pasal 122 terkait tugas MKD itu menuai kontroversi karena DPR dianggap menjadi antikritik dan tidak tersentuh hukum. Menurut hemat saya hal ini sebagai upaya kriminalisasi terhadap praktik demokrasi, khususnya rakyat yang kritis terhadap DPR,” terang Budiono saat melakukan reses di Kantor KPU Kabupaten Nganjuk.
Menurut Budiono, DPR harus dikritik karena hal tersebut merupakan bentuk pengawasan terhadap DPR oleh rakyat. Pasal dalam UU MD3 tersebut seakan-akan menakut-nakuti masyarakat itulah yang harus dibatalkan. Karena tidak sesuai dengan nafas konstitusi yang melindungi warga untuk menyatakan pendapat. “Kalau memang ada yang dianggap ‘menghina’ DPR dalam memberi kritiknya, kalau DPR tidak suka, sebagaimana lembaga lain atau orang-orang lainnya, laporkan saja ke Polisi, tidak perlu MKD.” tegas Budiono.
Secara pirnsip, dikatakan Budiono, dirinya tidak setuju dengan UU MD3 yang baru disahkan Senin (12/2) kemarin. Namun demikian, Budiono dan anggota DPD yang lain tidak mengajukan akan judicial review (pengujian) undang-undang ke Mahkamah Konstitusi. “Kami tidak akan mengajukan judicial review terhadap UU MD3, namun jika ada pihak lain atau kelompok masyarakat yang mengajukan judicial review, kami akan mendukung,” pungkas Budiono. [geh,ris]

Tags: