75 Persen Garam di Jatim Belum Terserap

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Pemprov, Bhirawa
Sebagaian besar garam produksi petani Jatim tidak terserap pasar. Dari 850 ribu ton garam yang dihasilkan petani pada 2015, hanya 25 persen saja yang laku di pasaran. Sisanya, menumpuk di gudang karena tidak ada yang membeli sesuai harga pasar.
“Memang sebagian besar menumpuk di gudang karena tidak laku. Kalau total produksi garam pada tahun ini mencapai 850 ribu ton,” kata Ketua Himpunan Masyarakat Petani Garam (HMPG) Jatim, M Hasan, ditemui saat penandatanganan kesepakatan dan kegiatan Intermediasi Petambak Garam-Pengusaha, di Hotel Sahid Surabaya, Senin (26/10).
Dia mengatakan, sebagian garam yang sudah dijual petani itu hanya laku dibawah Harga Pokok Produksi (HPP) yang sudah ditetapkan pemerintah yakni Rp550 sampai Rp750. Rendahnya harga jual itu membuat petani kelimpungan karena biaya produksi yang sudah dikeluarkan tidak kembali.
“Memang hanya laku sekitar Rp350 saja perkilo. Bahkan di Lamongan ada yang dijual hanya Rp250 rupiah karena terpaksa. Para tengkulak tidak mau membelinya dengan harga sesuai yang ditetapkan pemerintah,” katanya.
Dijelaskannya, seharusnya pemerintah memberikan proteksi kepada petani. Aturan yang sudah ada yakni Permendag No 58 Tahun 2012 mengenai kuota garam impor benar-benar dilakukan. Pengusaha harus menyerap 50 persen garam petani dari total kebutuhannya. “Tapi nyatanya sekarang aturan itu tidak berlaku sehingga stok garam banyak yang menumpuk,” ungkapnya.
Sementara itu, Direktorat Jenderal Ruang Pengelolaan Laut Kementrian Kelautan dan Perikanan Riyanto Basuki mengatakan, pemerintah tidak bisa mengintervensi pasar untuk membeli garam petani. Sebab tidak ada aturan yang mengikat karena garam bukan kebutuhan pokok.
“Yang bisa kami lakukan adalah memperbaiki kualitas garam supaya bisa diserap oleh sektor industri. Kalau intervensi pasar tidak bisa karena garam bukan kebutuhan pokok,” katanya.
Dia berjanji akan memperbaiki kualitas produksi garam yang dihasilkan petani dengan memberikan alat penyaring. “Kami akan memberikan penyuluhan agar garam yang dihasilkan kualitasnya meningkat,” jelasnya.
Pada 2016, produksi garam nasional ditarget mencapai 3 juta ton. Dari jumlah tersebut, 60 sampai 70 persen garam dihasilkan Provinsi Jatim. “Kami optimis pada 2017 mendatang kami bisa swasembada garam,” pungkasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jatim, Dr Ir Heru Tjahjono mengatakan, luas area lahan garam mencapai 17.810,64 hektare yang tersebar di 11 kabupaten/kota di Jatim. Diantaranya di Sumenep, Pamekasan, Sampang, Bangkalan, Gresik, Lamongan Tuban, Probolinggo, Pasuruan, Kota Pasuruan, Kota Surabaya. Total produksi garam pada 2014 lalu mencapai 906.627 ton.
Heru mengakui, masih ada permasalahan yang dihadapi petampak garam di Jatim. Seperti kesulitan untuk mendapat modal usaha, kualitas garam hasil tambak rakyat masih perlu ditingkatkan agar memenuhi standar yang diminta perusahaan pengolah garam dan industry garam. Selain itu, harga garam juga masih berfluktuasi walaupun sudah ada pengaturan. Dimana pedagang swasta cenderung melakukan permainan harga ditingkat produsen, yaitu membeli garam di bawah harga yang sudah ditentukan karena tidak ada sanksi.
Terkait masalah-masalah itu, Heru mengatakan, Pemprov Jatim telah melakukan beberapa antisipasi. Seperti memperbaiki kualitas garam dengan memberikan bantuan penggunaan geomembran, meningkatkan wawasan, pengetahuan dan keterampilan petambak garam di Jatim.
“Sedangkan untuk pembinaan dan pengawasan terhadap impor dan tata niaga garam di Jatim, telah dikeluarkan Surat Keputusan Gubernur Jatim Nomor : 188/630/KPTS/13/2013 tentang tim Pembina dan pengawas terhadap garam impor dan pemberdayaan garam rakyat,” pungkasnya. [iib]

Tags: