98,2 Persen Masyarakat Jatim Bersedia Terima Politik Uang

Diskusi PUSAD UM Surabaya bersama Bawaslu Jatim di Co-Millenial Space Gedung A Lantai 4 UM Surabaya, Senin (8/4/19).

Ketidakpercayaan Terhadap Penyelenggara Masih Tinggi
Pemprov, Bhirawa
Detik-detik menjelang Pemilu 2019 semakin dekat terasa. Tugas penyelenggara Pemilu terus dipacu untuk mewujudkan pesta demokrasi lima tahunan itu berjalan aman dan lancar. Khususnya keberadaan pengawas Pemilu di Jatim yang dituntut semakin jeli terhadap ‘serangan fajar’ sebagai salah satu bentuk money politic.
Hal ini sangat beralasan, sebab, 98,2 persen masyarakat Jatim mau menerima politik uang. Hal itu terungkap dalam riset Pusat Studi Antikorupsi dan Demokrasi (PUSAD) Universitas Muhammadiyah Surabaya. Direktur PUSAD UMSurabaya Satria Unggul WP mengatakan, money politics masih menjadi masalah dan ancaman yang serius dalam mewujudkan Pemilu 2019 yang luber dan jurdil.
“Hasil survei yang kami lakukan pada 5-20 Maret 2019 di 38 kabupaten/kota di Jatim dengan jumlah sampel 1.067 responden menunjukkan 98,2 persen masyarakat Jatim mau menerima uang dari calon maupun dari tim suksesnya,” katanya dalam acara diskusi di Co-Millenial Space Gedung A Lantai 4 UMSurabaya, Senin (8/4/19).
Satria menilai, praktik itu terjadi lantaran masyarakat Jatim masih sangat permisif terhadap politik uang yang diberikan oleh calon legislatif (caleg) maupun tim calon presiden (capres) -wakil presiden (cawapres) dengan berbagai macam jenis dan istilah. Misalnya sedekah politik, serangan fajar, dan sebagainya. “Nah, momentum yang tepat untuk money politics kepada elektoral salah satunya menggunakan metode kampanye tatap muka dan pengerahan massa. Sasaran elektoral sudah ditentukan dengan sangat presisi oleh masing-masing calon,” paparnya.
Satria melanjutkan, selain yang dilakukan secara konvensional, terdapat model lain money politics, yakni melalui penyaluran bantuan sosial dan obral perizinan yang biasanya dilakukan oleh calon petahana. “Modus ini kami kategorikan sebagai praktik dari money politics,” terangnya.
Secara rinci, Satria menerangkan, terdapat empat pola tertinggi dari praktik money politics yang dilakukan di Jatim. Pertama, pemberian uang tunai atau cash money. Kemudian, kedua adalah pemberian sembako, dan ketiga adalah dagang pengaruh atau trading of influence. “Praktik money politics dagang pengaruh ini dilakukan dengan menjanjikan jabatan-jabatan tertentu setelah calon terpilih,” urainya.
Model keempat adalah pemberian bantuan infrastruktur berupa pavingisasi, jembatan, sirtu, dan hal-hal sejenis infrastruktur. “Nah, untuk praktik money politics itu tertinggi terjadi di tiga kabupaten/kota di Jatim. Yakni, di Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Bondowoso, dan Sumenep, Madura,” ungkapnya.
Selain money politic, temuan PUSAD UM Surabaya juga terlihat dalam ketidakpercayaan masyarakat terhadap penyelenggara Pemilu. Dalam riset tersebut, 29 persen masyarakat di Jatim menyatakan tidak percaya terhadap penyelenggara. Faktor utamanya adalah netralitas penyelenggara pemilu terhadap salah satu calon. “Ada lima faktor utamanya, dan yang paling tinggi terkait netralitas penyelenggara yang dinilai ikut memberikan dukungan terhadap salah satu calon,” tutur Satria.
Selain netralitas, Satria juga mengungkapkan faktor indikasi penggelembungan suara oleh penyelenggara yang membuat masyarakat tidak percaya. Ketiga, penyelenggara berafiliasi dengan partai politik. Keempat, penyelenggara punya rekam jejak buruk dan terakhir, penyelenggara berlatar belakang dari ormas atau kelompok masyarakat tertentu.
“Yang tidak percaya sebanyak 29 persen itu masih bertingkat, ada yang benar-benar tidak percaya, ragu-ragu dan tidak tahu. Tetapi yang masih percaya kepada penyelenggara pemilu juga masih tinggi, yakni 71 persen,” tutur Satria.
Sementara itu, Komisioner Bawaslu Jatim Totok Hariyono mengakui, kendati ketidakpercayaan masyarakat itu masih tinggi meski hanya 29 persen. Pihaknya mengaku, sejauh ini telah berupaya maksimal untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dengan menindaklanjuti berbagai laporan dan temuan. “Kita juga melakukan patrol pengawasan, sanksi pidana dalam Pemilu juga sudah jelas,” tutur Totok.
Selain temuan terhadap pelanggaran pemilu, pihaknya juga telah menindaklanjuti oknum-oknum ASN yang terindikasi tidak netral. Di Jatim, terdapat 237 jenis temuan yang merupakan pelanggaran hukum lain-lain. Dari jumlah tersebut, 70 persen di antaranya adalah netralitas ASN terhadap Pemilu. “Untuk kasus netralitas ASN itu sudah kita limpahkan ke Komisi ASN. Kita tidak punya otoritas untuk memberi sanksi ASN. Karena pada dasarnya meraka tidak melanggar UU Pemilu, tetapi melanggar UU ASN,” pungkas Totok. [tam]

Tags: