ABK Kerjakan Soal Lebih Cepat, Lansia Masih Banyak Kosong

Kabid PNFI Dindik Jatim Abdun Nasor menemui ABK yang hendak mengikuti ujian Paket A di SMPN 32 Surabaya, Kamis (3/7).

Kabid PNFI Dindik Jatim Abdun Nasor menemui ABK yang hendak mengikuti ujian Paket A di SMPN 32 Surabaya, Kamis (3/7).

Kota Surabaya, Bhirawa
Tidak terlalu banyak orang berminat mengikuti Ujian Sekolah Pendidikan Kesetaraan (USPK) Paket A. Pesertanya minim dan ijazah yang diperoleh hanya setara SD. Mereka yang mau datang dan ikut ujian tentu bukan sembarang. Meski secara fisik sebagian mengalami ketunaan, atau yang tua sudah lanjut usia. Tetapi mereka punya keunikan dan semangat yang beda.
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tidak hanya tersebar di Sekolah Luar Biasa (SLB) dan sekolah inklusif. Saat mendatangi lokasi ujian Paket A di SMPN 32 Surabaya, sudah ada enam ABK yang menunggu jam ujian berlangsung. Di sela-sela waktu menunggu itu, tiba-tiba satu anak dengan begitu semangat menyapa semua yang dia temui.
Bahkan saat menyadari bahwa yang datang saat itu adalah wartawan, tanpa sungkan sedikit pun dia langsung memperkenalkan diri dan meminta dirinya untuk dikorankan. Tak hanya itu, dia juga meminta difoto agar bisa mejeng di media massa. “Kenalkan, saya Timothy Almeyda Lenzun. Saya dari Home Schooling Emanuel Surabaya. Saya ingin mengikuti ujian ini supaya bisa mendapat ijazah dan bisa membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP),” seloroh anak yang akrab dipanggil Timmy ini.
Tingkah laku Timmy ini spontan saja mengundang gelak tawa panitia dan guru pendamping khusus yang ada pada saat itu. Namun itu tak jadi masalah dan sangat dimaklumi. Sebab Timmy adalah salah satu ABK dengan jenis ketunaan autis yang ikut dalam ujian paket A.
Momen perkenalan terus dilanjutkan Timmy. Kali ini dia ingin pamer kemampuan dan cita-cita. Selama ujian, dia sangat yakin semua soal yang dikerjakannya benar meski tanpa mencontek. Semua soal dianggapnya gampang . Yah, meski autis, kemampuan Timmy dalam berpikir dan menghafal memang cukup bisa diandalkan. Dia mengaku akan terus sekolah sampai mendapat ijazah Paket B dan C lalu menjadi seorang pengusaha. “Tahun ini saya ingin membuat website sendiri, lalu tahun 2019 nanti akan saya buat grup website. Nantinya saya ingin sekali menjadi pengusaha warung internet (Warnet),” oceh anak kelahiran Tuban ini.
Dalam kesempatan itu Ketua Home Schooling Emanuel Surabaya, Imelda mengatakan, ada enam siswanya yang mengikuti ujian Paket A. Keenamnya merupakan ABK dengan berbagai jenis ketunaan seperti autis, down syndrome dan leukemia. “Masing-masing dari mereka membutuhkan pendamping khusus untuk mengontrol tingkah lakunya. Sehingga jangan sampai mereka menganggu jalannya ujian,” tutur Imelda.
Masing-masing ABK diakuinya memiliki kelebihan dan kekurangan. Meski secara intelegensia mereka mumpuni, namun secara emosi mereka masih sangat labil. “Terkadang tiba-tiba ketakutan, tiba-tiba berteriak, atau lari-lari. Ini kan sangat mengganggu ujian kalau tidak didampingi,” kata dia.
Bukan hanya ABK yang menarik perhatian dalam pelaksanaan ujian tersebut. Di satu kelas yang lain, seorang nenek berusia 68 tahun tampak mempersiapkan diri menghadapi sejumlah soal yang akan diujikan. Namanya Akin, cucunya sudah delapan, namun motivasinya menempuh pendidikan bisa dikatakan masih sangat remaja.
Akin sempat menempuh sekolah rakyat  selama 3 tahun. Namun dia mengaku masih belum lihai menulis. Akhirnya dia pun mengikuti program Keaksaraan Fungsional (KF) dan selanjutnya bisa mengikuti ujian paket ini. “Saya memang sudah tua, tapi ijazah yang saya dapat ini akan menjadi penjelas bagi cucu-cucu saya kalau pendidikan itu penting. Terus terang, beberapa cucu saya sulit sekali disuruh sekolah,” tutur dia.
Tidak hanya Akin, lansia yang juga menjadi peserta adalah Marsuli. Pria berusia 65 tahun itu masih ingat pelajaran yang dia dapat sekitar tahun 60 an saat di di SR (Sekolah Rakyat) kelas 4. Beberapa pelajaran seperti Bahasa Indonesia dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) tidak membuatnya sulit. Namun saat bertemu dengan soal matematika, dia mengaku banyak sekali nomor yang dia biarkan kosong tanpa jawaban. “Saya bingung sekali mengerjakan matematika. Kalau Bahasa Indonesia dan PKn kan saya bisa pelajari dari membaca koran,” tutur dia.
Kabid Pendidikan Non Formal dan Informal (PNFI) Dinas Pendidikan Jatim Nasor dalam kesempatan tersebut turut memantau jalannya ujian. Lokasi tersebut merupakan satu-satunya tempat dilaksanakannya ujian Paket A di Surabaya. Jumlah pesertanya hanya 147 peserta. Namun masing-masing punya latar belakang yang berbeda. “Kita bisa melihat, program KF yang telah berhasil salah satunya juga dengan melabeli warga belajar dengan ijazah yang setara pendidikan formal,” tutur dia.
Nasor sempat dibuat kaget dengan keberadaan peserta yang didampingi guru saat ujian berlangsung. Saat dikroscek, dia baru tahu kalau mereka yang didampingi adalah berkebutuhan khusus. Dia mengaku, baru tahu jika dalam pendidikan kesetaraan juga ada ABK yang masuk dalam naungan Home Schooling. “Biasanya kan adanya PAUD inklusif, tapi ini saya baru tahu ada Home Schooling Inklusif. Sebenarnya pendamping ujian tidak ada dalam juknis. Tapi ini adalah inovasi yang patut kita hargai. Memang seharusnya ABK itu ada pendamping khususnya,” tutur Nasor. [tam]

Tags: