Abraham Ibnu: Produsen Lebih Berminat Bisnis di Pasar Tradisional

Koordinator Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Wilayah Timur, Abraham Ibnu (tengah), Asosiasi Paguyuban Pedagang Pasar Surabaya (AP3S) , Andreas Felix (kanan) dan Kabid Perdagangan Dalam Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur, Tri Bagus Sasmito (kiri). [Achmad tauriq/bhirawa]

Surabaya, Bhirawa
Untuk memastikan keberlangsungan usaha, para produsen makanan atau minuman lebih suka berbisnis dengan pedagang pasar tradisional, karena bisa langsung mendapatkan uang tunai dari para pedagang.
Koordinator Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Wilayah Timur, Abraham Ibnu dalam FGD “Pasar Tradisional VS Modern” dalam Perdagangan FMCG (Fast Moving Consumer Goods) digelar Bank Mandiri dan Forum Jurnalis Ekonomi Bisnis Surabaya (FORJEBS) di Hotel Kampi Surabaya mengungkapkan penguasaan pasar tradisional terhadap FMCG mencapai 72 persen, diikuti minimarket sebesar 22 persen dan sekitar 6 persen adalah supermarket.
“Meski banyak yang mulai beralih ke ritel modern, kenyataannya sampai saat ini Perdagangan Fast Moving Consumer Goods (FMCG) atau produk yang memiliki perputaran omset dengan cepat di Indonesia masih dikuasai pasar tradisional,” terangnya, Rabu (3/4).
Abraham menambahkan kalau produsen mengirim barang ke toko modern, tidak langsung di bayar. Tapi harus menunggu sebulan setelahnya berbeda dengan toko tradisional yang langsung di bayar.
Sementara dengan keberadaan pasar modern yang dianggap mengganggu pasar tradisional, ternyata kedua pasar ini memiliki potensi pasar masing-masing dan bukan bersaing. Selain itu, keduanya juga memiliki regulasi yang berbeda.
“Justru yang ada sekarang, banyak aturan yang membatasi pasar modern, untuk aturan pasar tradisional lebih longgar,” ujarnya.
Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur, Tri Bagus Sasmito mengatakan eksistensi pasar tradisional dibandingkan dengan ritel modern pastinya kalah jauh.
“Dari pengelolaan layanan, SDM, tempat lebih nyaman dan tatanan yang lebih menarik menjadi sebab banyak masyarakat kini mulai beralih berbelanja ke ritel modern bukan ke pasar tradisional. Adalah wajar bila posisi pasar tradisional pastinya tergerus dengan ekspansi ritel modern,” jelasnya.
Tri Bagus Sasmito menegaskan untuk menjaga eksistensi pasar tradisional pemerintah sudah memberlakukan regulasi ketat sesuai Permendag. Mulai zonasi dan seharusnya tidak ada perseterun antara pasar tradisional dengan ritel modern.
“Kita sering mengingatkan Pemkab dan Pemkot untuk taat dengan regulasi, diantaranya zonasi 500 meter dari pasar tradisional untuk ritel modern,” katanya.
Menurut Vice President Bank Mandiri Regional Surabaya, Atta Alfa Wanggai, Bank Mandiri akan terus mendorong pertumbuhan bisnis perdagangan FMCG di Jatim, karena bisnis ini menjadi salah satu penyangga pertumbuhan ekonomi. Penjualan produk FMCG di Jatim berdasarkan data AC Nielsen, memberikan andil sekitar 14,5 persen terhadap total penjualan barang konsumsi ritel nasional.
“Perdagangan FMCG merupakan salah satu sektor potensial. Ini mengingat jumlah penduduk di Jatim ini mencapai 39,3 juta jiwa dan kontribusi konsumsi rumah tangga mencapai 59,3 persen terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB),” pungkasnya. [riq]

Tags: